May 19, 2018

Kerajaan Tarumanegara dan Kehidupan Masyarakatnya - Tarumanegara berdiri sekitar abad ke-5 M di sekitar Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. Rajanya yang terkenal bernama Purnawarman, seorang Indonesia.


Fa-Hsien, seorang rahib Buddha dari Cina, menyebutkan adanya kerajaan To-lo-mo. Pada tahun 414 M, Fa-Hsien bertolak dari Sailan (atau Ceylon, sekarang Sri Lanka) untuk balik ke Kanton, Cina. Sebelumnya ia bertahun-tahun belajar Buddha di kerajaan-kerajaan Buddhis. Ia sering berziarah ke India. Setelah dua hari berlayar, kapalnya diterjang topan. Ia pun terdampar dan mendarat di Ye Po Ti, ejaan Cina bagi kata Jawadwipa, yaitu Pulau Jawa. Diduga, tanah yang ia darati adalah Tarumanagara.

Kronik lain yang menyinggung Tarumanagara adalah berita Cina era Dinasti Tang. Sekitar tahun 528-539 dan 666-669 M, dating seorang utusan dari To-lo-mo ke Cina. Tolomo adalah ucapan lidah orang Cina untuk “taruma”.


KERAJAAN TARUMANEGARA DAN KEHIDUPAN MASYARAKATNYA




Sebelum ada pengaruh India, di sekitar Tarumanagara terdapat kerajaan Aruteun. Setelah dipengaruhi Hindu, Aruteun pun berganti nama menjadi Tarumanagara. Oleh karena itu, Aruteun atau Ci Aruteun (kata “ci” dalam bahasa Sunda berarti “air” atau “sungai” atau “tanah”) dijadikan pusat pemerintahan Tarumanagara.

Pendapat ini didapat dari kronik Cina abad ke-5 M. Menurut sumber ini, kerajaan dari Jawa yang pertama mengirim utusan ke Cina adalah Ho-lo-tan. Kronik Li-Sung-Shu mengabarkan (430- 452 M), utusan Ho-lo-tan dari She-po (Jawa) ini berkali-kali dating ke Cina, menjalin persahabatan. Para ahli berpendapat bahwa nama ho-lo-tan adalah ucapan lidah Cina untuk “Aruteun”. Nama Ho-lo-tan tidak terdengar lagi pada abad ke-6. Sebagai gantinya muncul nama To-lo-mo (Tarumanagara) yang utusannya sering berkunjung ke Cina. Pendapat ini bisa benar adanya, karena adanya prasasti di tepi Sungai Ciaruteun (sekitar Bogor) yang mengabarkan adanya Raja Tarumanagara yang memerintah pada abad ke-6 (Purnawarman).

Dari naskah Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (ditulis pada masa Kesultanan Cirebon pada 1680 M) diketahui ada beberapa raja penerus Purnawarman. Pada naskah ini disebutkan nama Suryawarman, raja ke-7 Tarumanagara yang memerintah tahun 535-561, yang dilanjutkan oleh Sri Maharaja Kretawarman yang memerintah hingga tahun 628. Disebutkan bahwa Suryawarman menikahkan puterinya, Tirtakancana, dengan
Resiguru Manikmaya yang kelak pendiri Kerajaan Kendan yang terletak di Cicalengka, Kabupaten Bandung. Setelah Kretawarman, ada beberapa yang memerintah Tarumanagara. Raja-raja tersebut, yaitu Sudawarman (628-639), Dewamurti (639-640), Nagajayawarman (640-666), Linggawarman (666-669), dan Tarusbawa (669-670 M). Di bawah Tarusbawa, pamor Tarumanagara makin meredup. Pusat Tarumanagara dialihkan ke Pakuan, Bogor, dan berganti nama menjadi Kerajaan Sunda.

Kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan bawahan Tarumangara, masing-masing mulai memisahkan diri, salah satunya Kendan. Selanjutnya, yang berkuasa di Jawa Barat adalah Kerajaan Sunda di sebelah barat dan Kerajaan Kendan (Galuh) di sebelah timur. Dua kerajaan ini dibatasi oleh Sungai Citarum. Kelak, dua kerajaan ini dipersatukan oleh Sri Baduga Maharaja, menjadi Pajajaran. Menurut keterangan Dinasti Tang, Tarumanagara masih ada hingga abad ke-7. Setelah masa itu, tak ada lagi berita tentangnya. Sangat mungkin, setelah abad ke-7 Tarumanagara dikuasai oleh Sriwijaya dari Sumatera.

Bukti-bukti adanya Tarumanagara adalah ditemukannya tujuh buah prasasti, yakni Prasasti Ciaruteun, Kebon Kopi, Jambu, Tugu, Pasir Awi dan Muara Ciaruteun, serta Lebak. Kebanyakan prasasti-prasasti ini berbahasa Sansekerta dan berabjad Pallawa. Prasasti Ciaruteun ditemukan di muara Sungai Cisadane, memuat informasi tentang Raja Purnawarman, yang diidentikkan sebagai Dewa Wisnu beserta cap kakinya. Prasasti Kebon Kopi ditemukan di Cibungbulang. Prasasti ini memuat gambar dua telapak gajah Airawata, gajah tunggangan Dewa Wisnu. Sementara itu, Prasasti Jambu ditemukan di Bukit Koleangkak, berisi sanjungan terhadap Purnawarman.

Prasasti Tugu ditemukan di Desa Tugu, Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti ini menyebutkan tentang penggalian saluran air (kanal) bernama Gomati sepanjang 6.112 tombak (11 km). Penggaliannya dilakukan di tahun pemerintahan ke-22 Purnawarman dan diselesaikan dalam waktu 21 hari. Setelah selesai, Purnawarman mengadakan selamatan dengan memberikan hadiah 1000 ekor sapi kepada para brahmana. Prasasti Tugu ini juga menyebutkan penggalian sebuah sungai bernama Candrabaga. Prasasti Pasir Awi dan Muara Ciaruteun ditulis dengan huruf ikal dan belum dapat diartikan. Pada Prasasti Lebak, lagi-lagi disebutkan kebesaran Purnawarman.

Sumber yang memberikan gambaran jelas mengenai kehidupan politik Tarumanagara, cukup minim. Meski demikian, kronik Fa-Hsien mengisyaratkan bahwa stabilitas politik Tarumanagara cukup terjaga. Ini tergambar dari perekonomiannya yang stabil, karena maju-tidaknya perekonomian tergantung pada stabil-tidaknya keamanan wilayah. Kuatnya pemerintahan Tarumanagara terlihat pada proyek saluran Gomati dan Candrabaga. Proyek ini membutuhkan tenaga manusia yang cukup besar. Tak mungkin proyek tersebut berjalan bila pemerintahan tak berwibawa dan tak dihormarti rakyatnya. Kekuasaan raja Tarumanagara bersifat mutlak. Ini tergambar dari pengagungan Purnawarman sebagai penjelmaan Dewa Wisnu, salah satu dari Trimurti.



Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Tarumanagara
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.

Kehidupan masyarakat Tarumanagara tak jauh beda dengan Kutai. Menurut sebuah prasasti, kehidupan sosialnya telah berkembang baik, terlihat dari penggalian kanal (sungai yang digali) Gomati dan Candrabhaga secara gotong-royong. Tenaga kerja yang diperintah menggali kanal tersebut biasanya dari golongan budak dan kaum sudra. Pembangunan kanal Gomati dan Candrabaga begitu bermakna bagi perekonomian Tarumanagara. Selain sebagai sarana pencegah banjir, juga dapat dipergunakan sebagai sarana transportasi (lalu lintas) air dan perdagangan antara pedagang Tarumanagara dengan pedagang daerah lain. Hasil bumi merupakan komoditas utama.

Melalui perdagangan, masyarakat Tarumanagara dapat memperoleh barang yang tidak dihasilkan di kerajaannya. Kehidupan ekonomi Tarumanagara bertumpu pada hasil lading dan kebun. Barang yang ditawarkan adalah beras dan kayu jati. Mayoritas rakyat Tarumanagara adalah peladang. Karena masyarakat peladang selalu berpindah-pindah tempat. Ini berbeda dengan masyarakat petani yang selalu menetap di satu tempat, misalnya di Jawa Tengah dan Timur.





Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan

0 komentar:

Post a Comment