June 2, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan




Islam sebagai agama, dalam berbagai hal, memiliki ajaran-ajaran yang fleksibel, terutama menyangkut masalah sosial dan budaya. Al-Quran dan hadist-hadist Nabi cukup banyak memuat pernyataan (firman Tuhan dan ucapan Nabi Muhammad) yang mengajak umatnya untuk berpikir.


Maka dari itu, dalam ajaran Islam dikenal dengan metode ijtihad, yaitu langkah dalam menafsirkan dalil-dalil yang terdapat dalam al-Quran dan hadis yang kedudukan hukumnya belum jelas, secara musyawarah. Dengan demikian, setiap ulama memungkinkan untuk mengambil tafsiran yang berbeda-beda. Apalagi sejarah perkembangan Islam membuktikan adanya empat mahzab yang berbeda, Maliki, Hanafi, Hambali, Syafei.

Masing-masing mahzab memiliki tolak ukur yang berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Dan setelah Islam bersentuhan dengan budaya yang non-Arab, maka ajaran-ajarannya sedikitbanyaknya mengalami pergeseran, bahkan ada yang melenceng jauh dari akidah dan syariah Islam yang memang bersifat absolute dan mutlak. Masyarakat Indonesia sendiri mayoritas menganut mahzab Syafei.

1. Aspek Peribadatan

Aspek peribadatan adalah aspek yang paling kentara pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia. Para sejarawan sebagian berpendapat bahwa pengaruh Islam ke Indonesia pertama kali dibawa oleh perantara kaum tasawuf sehingga amalan yang banyak dipraktikkan umat Islam, khususnya di Jawa, adalah ajaran yang cenderung bersifat esoteris, artinya kebanyakan umat Islam untuk pertama kali lebih banyak menghayati Islam dari aspek kebatinannya saja.

Hal ini sangat sesuai dengan cakrawala religious yang dimiliki oleh orang Jawa yang sebelumnya telah terpengaruh secara kuat oleh kebudayaan Hindu-Buddha. Kitab-kitab yang menggambarkan proses masuknya Islam, seperti hikayat, babad, serat, banyak yang diselubungi oleh cerita-cerita magis dan tidak rasional.

Namun dalam perkembangan selanjutnya, aspek-aspek eksoteris (yang boleh diketahui siapa saja) banyak dilaksanakan oleh kaum muslim seiring dengan dakwah yang bersifat syariah oriented, berkembang dengan pesat. Pada tahap ini salat, zakat, shaum dan haji mulai diperkenalkan. Islam dengan segala ritual peribatannya mulai tumbuh dan berkembang. Walau demikian, proses akulturasi antara kedua kepercayaan tidak bisa dihindari lagi. Ajaran Islam dan ajaran Hindu-Buddha menyatu dan akhirnya membentuk paham dan “aliran” baru. Oleh orang Jawa, aliran ini disebut kejawen.

Bila memperhatikan stratafikasi sosial yang telah diungkapkan oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java, masyarakat Jawa bisa dikategorikan dalam 3 strata sosial. Pertama adalah golongan Islam-priyayi yang mewakili golongan bangsawan dan keturunan kerajaan. Kedua adalah abangan, yaitu golongan yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek keagamaan. Mereka masih terpengaruh dengan alam berpikir pra Islam. Ketiga adalah santri, golongan yang disiplin melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan baik.

Akulturasi dan asimilasi kebudayaan agama Hindu-Buddha dengan Islam paling banyak dilakukan oleh kaum abangan. Golongan ini kebanyakan melaksanakan ajaran yang sinkretis. Mereka mempraktikkan tradisi-tradisi Hindu seperti mempersembahkan sesaji untuk nenek moyang, memakai kemenyan setiap waktu tertentu, dan praktik ritual lainnya Sementara santri hampir secara keseluruhan menolak aspek-aspek yang terdapat dari tradisi Hindu, apalagi menyangkut permasalahan kepercayaan dan ritual peribadatan.

Ritual peribadatan dalam Islam yang sampai hari ini berpengaruh misalnya: perayaan tabut di Sumatera Barat, hari raya Assyura sebagai hari raya kaum Syiah atas kematian Husein bin Abi Thalib di Karbala oleh orang-orang Khawarij. Di Yogyakarta ada upacara sekaten dan grebeg Maulud yang dihitung pada tahun baru Hijriyah.

Di daerah Sunda dan daerah lain ada upacara ekahan atau ”aqiqah”, yakni acara pemotongan rambut pada bayi yang baru berusia 7 hari yang memang merupakan sunat Nabi Muhammad. Perayaan-perayaan keagamaan lainnya yang dilaksanakan umat Islam di Indonesia adalah shalat Idul Fitri, Idul Adha, hara Isra Mikraj, puasa pada bulan Ramadhan, dan lain-lain.

2. Aspek Pendidikan

Para ulama, termasuk wali, berperan besar terhadap penyebaran Islam. Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di sekitar kota pelabuhan (sebagai tempat transit kapal-kapal dagang) guna menyebarkan dakwah Islamnya. Istilah “pesantren” berasal dari ucapan “pesantrian”, yakni tempat para santri menimba ilmu agama. Di sinilah calon-calon santri—yang tadinya nonmuslim— dididik oleh guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran, bacatulis huruf Arab, dan segenap aspek Islam lainnya.

Materi-materi yang diajarkannya sebagai besar meliputi hukum (syariat) Islam Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum berkumpul di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok pesantren di daerah lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel Denta di Giri; Sunan Gresik memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan Kalijaga mengasuh pesantren di Kadilangu, dekat Demak.

Sistem pendidikan Islam tradisonal ini—dalam arti belum tersentuh sistem pendidikan ala Barat—berlangsung hingga abad ke-18. Setelah pendidikan formal Barat diperkenalkan, materimateri yang diajarkan dipesantren bertambah. Malah banyak di antaranya pesantren tersebut yang menjadi pelopor perlawan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan dan semangat jihad melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan, pondok-pondok pesantren merupakan pusat perlawanan.

Meskipun semangat juang mereka belum didasari semangat nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum santri yang didukung oleh rakyat setempat dan segelintir kaum bangsawan begitu gigih dan berani mati. Contoh-contoh perlawanan yang bersifat sosial dan lokal, di antaranya, perlawanan rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Tugabus Ismail pada tahun 1818.


0 komentar:

Post a Comment