May 18, 2012

10:32 PM
Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan



Sunda dan Pajajaran

Berita tentang Kerajaan Sunda terdapat pada Prasasti Sanghyang Tapak yang berhuruf Kawi bertahun 952 Saka (1050 M), yang ditemukan di Citatih, Cibadak, Sukabumi (diperkirakan sezaman dengan Airlangga di Jawa Timur). Disebutkan bahwa yang memerintah Sunda ketika itu adalah Maharaja Jayabhupati yang bergelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wishnumurti Samarawijaya Sakalabhuwana Mandala Weswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.


Jayabhupati disebutkan berkuasa di Praharyan Sunda dan beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Dan pada masa berikutnya, ibukota dipindahkan dari Pakuan ke Kawali, Ciamis. Sementara itu, Kerajaan Pajajaran banyak dibahas dalam babad atau kidung. Seperti Kidung Sunda, Sundayana, Pararaton, Carita Parahiyangan, Babad Galuh, dan Babad Pajajaran. Kitab ini sebagian memang disusun pada waktu Pajajaran masih ada. Namun, yang lainnya banyak ditulis pada masa kemudian, ketika Pajajaran tinggal hanya nama. Nama Pajajaran pun tertulis pada Prasasti Batutulis dan Prasasti Kebantenan.

Prasasti Batutulis ditulis dengan bentuk candrasangkala dan memakai bahasa Sunda Kuno, berbunyi:

1. ...ini sakakala Prabu Ratu Purana pun, di Wastu
2. diva dingaran Prabu Guru Dewataprana di Wastu dija dingaran
3. Sri Baduga, maharaja ratuhaji di Pakwan Pajajaran
4. dewata pun ya nu nyusuk na Pakwan, dija anak rahiyang
5. niskala sasida mokta di guna tiga, incu Rahiyang Niskala Wastu
6. Kancana sakakala mokta ka nusa larang ya siya nu nyiyan
7. sakakala gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan sang hiyang talaga
8. rena maha wijaya ya siya pun, i saka panca pandawa ngemban bumi.

Prasasti ini dianggap sebagai awal berdirinya Pajajaran. Ada pula yang beranggapan prasasti ini dibuat pada masa Prabu Surawisesa yang berisi penghormatan terhadap jasa-jasa ayahnya, Prabu Ratu Purana yang telah wafat. Mengenai tahun berdirinya, ada yang menyebutkan 1225 Saka (1335 M), ada yang berpendapat 1445 Saka (1533 M). Belum ada ahli yang tahu pasti kapan berdirinya Pajajaran dan siapa raja-raja yang memerintah. Setiap babad menyebutkan nama-nama raja yang berlainan, meski ada pula nama-nama yang sama. Kisah dalam kitab-kitab tersebut banyak yang bercampur dengan cerita-cerita legenda.

Rajaraja yang diketahui memerintah Pajajaran adalah Maharaja Jayabhupati, Rahyang Niskala Wastu Kencana, Rahyang Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja, Hyang Wuni Sora, Prabu Surawisesa (catatan Portugis menulisnya Samian, mungkin ucapan tak sempurna dari Sanghyang), dan Prabu Ratu Dewata. Dari prasasti Sanghyang Tapak diketahui bahwa raja Maharaja Jayabhupati menyebut dirinya Haji ri Sunda. Sebutan ini bertujuan untuk meyakinkan kedudukannya sebagai raja Pajajaran. Disebutkan bahwa Jayabhupati memeluk Hindu Waisnawa. Pada masa Jayabhupati, pusat Kerajaan terletak di Pakwan (Pakuan atau Pakuwan) di Bogor yang kemudian dipindahkan ke Kawali.

Pengganti Jayabhupati adalah Rahyang Niskala Wastu. Pusat kerajaan Pajajaran ketika masa pemerintahan raja ini sudah di Kawali. Istananya bernama Surawisesa. Kemudian Rahyang Dewa Niskala menggantikan Niskala Wastu. Namun tidak diketahui perkembangan Pajajaran dalam masa pemerintahan raja ini. Raja Rahyang Dewa Niskala kemudian digantikan oleh Sri Baduga Maharaja. Pada masa pemerintahan raja ini, terjadi Perang Bubat antara pasukan Gajah Mada Majapahit dengan Pajajaran. Dalam pertempuran ini, semua pasukan Pajajaran termasuk raja Sri Baduga tewas terbunuh. Sepeninggalan Sri Baduga, Pajajaran diperintahkan oleh Hyang Wuni Sora, kemudian berturut-turut oleh Prabu Niskala Wastu Kencana, Tohaan, dan Ratu Jaya Dewata.

Raja Pajajaran yang lainnya adalah Prabu Surawisesa. Dalam peninggalan sejarah disebutkan bahwa Ratu Samian pernah berkunjung ke Malaka untuk meminta bantuan Portugis dalam rangka menghadapi Demak yang ingin menguasai Sunda Kepala. Namun, Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama Pajajaran (konon lebih ramai dari pelabuhan Banten dan Cirebon) akhirnya jatuh ke tangan pasukan Demak pimpinan Fatahillah (Faletehan atau Fadillah Khan, menantu Sunan Gunung Jati). Ratu Samian digantikan Prabu Ratu Dewata. Pada masa pemerintahan Ratu Dewata, Pajajaran banyak mendapat serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin. Akhirnya, Pajajaran runtuh dan wilayahnya dikuasai Banten.


Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kerajaan Sunda dan Pajajaran


Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.

Kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Pakwan Pajajaran secara garis besar dapat digolongkan ke dalam golongan seniman, peladang (pecocok tanam), pedagang. Dari buktibukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti masyarakat Tarumanagara dan Galuh, mereka umumnya selalu berpindahpindah.

Hal ini berpengaruh pada bentuk rumah tempat tinggal mereka yang sederhana. Dalam hal tenaga kerja, yang menjadi anggota militer diambil dari rakyat jelata dan sebagian anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh negara. Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah lebih maju dari masa Tarumanagara. Kerajaan Sunda-Pajajaran memiliki setidaknya enam pelabuhan penting: Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. Setiap pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar yang bertanggung jawab kepada raja.

Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil raja di pelabuhanpelabuhan yang dikuasainya, sekaligus menarik pajak dari para pedagang yang ingin berjualan di daerah ini— pajak tersebut berupa kiriman upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang. Dalam hal transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui sungai-sungai besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam negeri.

Melalui pelabuhan ini, Pajajaran melakukan aktifitas perdagangan dengan negara lain. Dalam berbagai peninggalan sejarah diketahui, masyarakat Pajajaran telah berlayar hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan Maladewa yang kecil di sebelah selatan India. Barangbarang dagangan mereka umumnya bahan makanan dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan pakaian yang didatangkan dari Kambay (India). Sementara mata uang yang dipakai sebagai alat tukar adalah mata uang Cina.


0 komentar:

Post a Comment