June 8, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan



Bima

Mulanya, Bima merupakan kerajaan yang dipengaruhi Hindu- Buddha yang bercampur dengan kebudayaan asli. Sebelum Islam datang, penduduknya mempercayai arwah-arwah lelulur mereka sebagai penjaga kehidupan. Pada awal abad ke-17, barulah ajaran Islam masuk ke Bima, yang terletak di bagian timur Pulau Sumbawa. Tepatnya pada tahun 1620, raja Bima yang bernama La Ka’i memeluk Islam dan namanya berganti menjadi Abdul Kahir.


Sesungguhnya, ajaran Islam telah masuk ke daerah Sumbawa sejak abad ke16. Persebaran Islam di wilayah ini terbagi dalam dua gelombang. Gelombang pertama sekitar tahun 1540-1550 oleh para mubalig dan pedagang dari Demak. Sementara, gelombang kedua terjadi pada 1620 oleh orang-orang Sulawesi. Pada gelombang kedua inilah Raja Bima, La Ka’i, tertarik untuk menjadi muslim.

Sejak penguasanya masuk Islam, Bima menjelma menjadi pusat penyebaran Islam di wilayah timur Nusantara. Para ulama yang berdakwah sebagian diangkat menjadi penasihat Sultan dan berperan besar dalam menentukan kebijakan Kerajaan. Banyak ulama termasyur yang datang ke Bima ini. Ada Syekh Umar al- Bantani dari Banten yang berasal dari Arab, Datuk Di Bandang dari Minangkabau, Datuk Di Tiro dari Aceh, Kadi Jalaluddin serta Syekh Umar Bamahsun dari Arab.

Di bagian barat dan timur pelabuhan Bima telah terdapat perkampungan orang Melayu. Perkampungan ini menjadi pusat pengajaran Islam. Sultan Bima begitu menghormati orang-orang Melayu dan menganggap mereka saudara. Mereka bahkan dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Ulama dan penghulu Melayu mendapat hak istimewa untuk mengatur perkampungan mereka sesuai dengan hukum Islam.

Dengan demikian, dengan mudah bahasa Melayu menyebar di Bima dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Kerajaan Bima meliputi Pulau Flores, Timor, Solor, Sumba, dan Sawu. Pada waktu itu, Bima merupakan salah satu bandar utama. Para pedagang yang pergi dari Malaka ke Maluku, atau sebaliknya, pasti melewati perairan Sumbawa.

Untuk meningkatkan perdagangannya, Bima mengadakan hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain yang berdekatan. Salah satunya dengan Kerajaan Goa. Datuk Di Bandang dan Datuk Di Tiro adalah ulama yang datang ke Sumbawa atas dukungan Goa. Hubungan dua kerajaan ini dipererat dengan pernikahan antara keluarga kedua kerajaan.

Kerajaan Bima terbukti telah membantu pihak Goa dalam menghadapi Belanda. Ketika Goa menandatangani Perjanjian Bongaya tahun 1667 dengan pihak Belanda, Bima pun dipaksa untuk ikut menandatangani perjanjian tersebut. Ketika itu Sultan Bima menolak. Namun, dua tahun kemudian, 1669, Kerajaan Bima akhirnya harus mengakui kekuasaan Belanda. Perjanjian damai pun dilaksanakan. Sejak itulah bangsa Belanda ikut serta dalam urusan dalam negeri Bima.

Pada tahun 1906, penguasa Bima, Sultan Ibrahim, dipaksa menandatangani kontrak politik yang bertujuan menghapus kedaulatan Kerajaan Bima oleh Belanda. Isi perjanjian ini antara lain: Bima mengakui wilayahnya menjadi bagian dari kekuasaan Hindia Belanda, Sultan tidak boleh mengadakan kerjasama dengan bangsa Eropa lain. Selain itu, Bima harus membantu Belanda bila sedang berperang dan Sultan dilarang menyerahkan kekuasaannya selain kepada Belanda.

Pada masa pemerintahan sultan terakhir, Muhammad Salahuddin (1915-1951), pendidikan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat. Sultan Muhammad memperbanyak sarana peribadahan dan pendidikan, seperti masjid dan madrasah. Kerajaan Bima berakhir pada tahun 1951 karena Sultan Muhammad Salahuddin meninggal dunia. Di samping itu, sebelumnya Bima telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia dan menjadi bagiannya. Kini Bima menjadi wilayah kabupaten berada dalam Provinsi Nusa Tenggara Barat.


0 komentar:

Post a Comment