July 19, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan


Industrialisasi di Indonesia tumbuh pertama kali di Pulau Jawa. Kegiatan industri di pulau ini relatif berkembang, dan penggunaan uang meluas. Berbagai kegiatan ekonomi dikejar oleh masyarakat yang berkembang menjadi aneka suku bangsa.

1. Kegiatan Perdagangan di Jawa pada Masa Kolonial

Abad ke-17 dan sebelumnya, tanah di Jawa sangat subur, penduduknya lebih padat dari daerah lain dan ekonominya sangat dinamis. Di sebagian besar Indonesia sistem ladang berpindah masih sangat umum sedangkan di Jawa sudah ada budidaya padi dengan sistem pengairan intensif. Ekonomi di Jawa tetap dinamis meski setelah akhir abad ke-18 VOC berusaha keras mengendalikannya secara keseluruhan.


Pada awal abad ke-17 Jawa juga merupakan pusat perdagangan penting di Asia Tenggara. Para pedagang Jawa memasok pangan penting untuk Malaka dan bandar-bandar seperti Surabaya, Gresik, dan Banten yang merupakan gudang penting untuk barang-barang seperti cengkeh, lada, dan cita (kain tenun dari kapas untuk bahan pakaian) India.

Perdagangan ini tidak surut meskipun dikendalikan secara drastis oleh VOC. Pada abad ke-17 dua bandar yaitu Banten dan Batavia berkembang sebagai gudang utama di Jawa. Keduanya bersaing gigih untuk secara penuh menguasai perdagangan antarpulau, meskipun persaingan itu dimenangkan Batavia setelah serangan militer Belanda ke Banten pada tahun 1682.

Setelah itu, perdagangan tetap penting bagi Jawa. Harus diakui bahwa sebagian besar perdagangan penting akhir abad ke- 18 jatuh ke tangan Belanda dan orang Cina. VOC melarang perahu Jawa berlayar ke Indonesia Timur dan melarang berdagang barang yang sangat menguntungkan seperti rempah, candu, cita India.

Walaupun demikian, perahu Jawa mengangkut beras, garam, kain batik, tembakau, dan beberapa barang dalam jumlah besar ke berbagai tempat sampai Patani dan Perak. Pada akhir abad ke-18 pun, hampir seperlima nakhoda kapal berasal dari Jawa dan jumlah yang sama besar terdiri atas nakhoda penduduk setempat dari pulau Indonesia lain.

Perdagangan luar negeri berkait dengan jaringan dagang di Jawa sendiri. Angkutan terpenting melalui air, sebab tanah tidak rata sehingga membuat sulit angkutan darat. Akibatnya, barang yang diperdagangkan dari Jawa Tengah ke Jawa Barat mula-mula di bawa dibawa ke pantai melalui sungai dan dari sana melalui laut. Sungai utama yang digunakan adalah Sungai Sala dan Brantas.

Sebagian besar perniagaan dilakukan atas nama petinggi Jawa. Keluarga istana dan bupati mempekerjakan pedagang profesional, Jawa ataupun Cina. Pada awal abad ke-18, misalnya, desa Sala dihuni oleh pedagang yang berniaga sepanjang sungai dan dimodali putra mahkota Mataram. Akhir abad yang sama, putra dari putra mahkota ini mendirikan keraton di Sala. Di kota bandar seperti Semarang, para bupati setempat memiliki rumah timbang dan gudang yang disewakan kepada pedagang asing.

Di samping perdagangan yang didanai oleh para elit, banyak perdagangan dilakukan sebagai usaha sampingan oleh penduduk nelayan dan petani. Biasanya dilakukan oleh kaum perempuan, terutama di lingkungan setempat, sehingga perempuan Madura akan menyeberang selat untuk menjual buah-buahan di pasar Gresik.

2. Perkembangan dalam Bidang Industri

Pada awal abad ke-17, Jawa memiliki industri galangan kapal yang luar biasa, bahkan jung besar pun dibuat di sini. Industri pembuatan kapal tetap penting meski akhirnya sebagian diatur oleh Belanda. Untuk industri ini, demikian juga bangunan rumah, diperlukan kayu jati dalam jumlah besar. Demak, Jepara, dan terutama Rembang menjadi industri penggergajian yang besar, yang melibatkan orang Kalang sebagai pekerja.

Setelah ditebang, gelondong ditarik oleh kerbau ke sungai terdekat dan dibiarkan hanyut ke pantai. VOC langsung mengangkut kayu gelondong ini ke Batavia dengan kapal. Di Juwana, Jepara, dan Semarang, orang Cina dan Jawa mendirikan pengolahan kayu dalam sejumlah penggergajian. Dari sini, papan, tong, perabot rumah tangga, dan dayung dikirim ke Batavia dan tempat lain di Indonesia.

Pembuatan kain batik terpusat di keraton Jawa dan kota terdekat seperti Banten, Semarang, dan Kudus. Di keraton, kain dibuat dan dicelup di tempat pembatikan besar milik beberapa istri pejabat dan perempuan lain. Di dalam dan sekitar kota Pantai Utara, batik dibuat oleh perempuan petani di rumah mereka, bekerjasama dengan pedagang Cina. Batik Jawa bermutu tinggi dengan harga yang tidak mahal, dibutuhkan dalam jumlah besar oleh penduduk pulau lain di Nusantara.

Pada abad ke-17 dan ke-18 berbagai tanaman baru untuk ekspor diperkenalkan di Jawa dengan berhasil. Tanaman utama adalah kopi, tembakau, nila, dan tebu. Dengan pergeseran dari tanaman rempah ke tanaman baru ini, titik perekonomian ekspor daerah lebih meningkat di pulau Jawa. Sekitar tahun 1650 pusat penghasil gula tradisional seperti Cina Selatan dan Taiwan dilanda perang sipil. Cina-Jawa mengisi celah yang timbul sebagai hasil pembangunan pabrik gula di daerah sekitar Batavia dan Jepara.

Pada awal abad ke-18 Jawa memiliki lebih kurang 140 pabrik, menjadikannya penghasil gula tebu terbesar di Asia, yang dijual ke Jepang, Persia, India, dan Belanda. Ribuan laki-laki Jawa dari Jawa Tengah pindah ke daerah sekitar Batavia untuk bekerja di kebun tebu dan pabrik gula. Adapun, daerah lain di Jawa mengkhususkan diri dalam pembiakan kerbau yang diperlukan untuk menggerakkan pabrik.

Pada masa modern awal, Jawa dikenal sebagai penghasil padi dalam jumlah besar, sekitar tahun 1800-an diekspor ke pulau lain di Indonesia dan beberapa negara Asia Tenggara. Sekitar tahun 1800-an, kedudukan padi sebagai barang ekspor digantikan kopi yang bernilai, dan secara cepat diganti dengan gabungan tanaman kopi, nila, dan gula.

Tanaman perdu yang menghasilkan kopi diperkenalkan Belanda pada akhir abad ke- 17. Pertengahan tahun 1700-an, tanaman ini disebar ke Jawa, Sumatera, termasuk pulau lainnya. Sebetulnya tanaman ini pertama kali ditanam oleh VOC dan perantara mereka, dengan pandangan untuk memperoleh keuntungan bagi perdagangan ke Eropa.

Pertengahan abad ke-19 kopi ditanam besar-besaran sebagai tanaman menguntungkan bagi pemerintah di bawah bantuan “tanam paksa”. Sistem ini yang dibuat tahun 1830-an, memungkinkan pemerintahan jajahan Belanda abad ke-19 mendapat cadangan hasil ekspor melalui kerja paksa rakyat Jawa. Setelah penghapusan sistem ini dilakukan secara “bertahap” (tahun 1860-an dan akhirnya dihapus secara keseluruhan pada permulaan abad ke-20) kopi tetap ditanam oleh sebagian pemegang saham kecil Indonesia dan para pemilik lahan dikelola oleh penjajah Eropa, mempertahankan tempat penting di antara barang ekspor hingga berakhirnya masa penjajahan.

Industri gula tebu di Indonesia pada awal periode modern sangat terbatas hanya di Pulau Jawa yang terdapat tanah vulkanik subur dan buruh siap pakai. Paduan ini, bersama persekutuan simpatik dengan pemerintah jajahan Belanda, membawa industry gula Indonesia ke baris depan dalam ekonomi gula dunia menjelang abad ke-19. Hanya Kuba yang memproduksi dan mengekspor gula tebu lebih dari Jawa.

Sejak tahun 1830-an ke atas, (kemudian di sekitar kota Jakarta, tanaman lain yang telah digarap sejak abad ke-17 diganti tanaman tebu) seluruh tanah subur dan daerah padat penduduk di Jawa Tengah atau Jawa Timur diselimuti oleh jaringan besar dan industri pabrik gula yang meluas. Menjelang tahun 1850-an jumlah pabrik gula sudah mencapai ratusan, dan pada akhir abad ini jumlahnya hamper dua kali lipat.

Perkembangan tersebut, bagaimanapun, mahal harganya. Pabrik dan terutama pemilik Belanda serta pengelola, menguasai desa di sekitar pabrik dan membentuk sistem perkebunan menurut kehendak mereka dan bukan menurut alam Indonesia. Mungkin gula membawa kesempatan kerja bagi bagi masyarakat pedesaan Indonesia, jumlah pencari kerja bertambah dan lapangan kerja langka di pedesaan. Di pihak lain, bagi pemilik tanah kecil, gula menjadi kesempatan sekaligus ancaman.

Dengan dihapusnya Sistem Tanam Paksa, pemilik tanah tidak dipaksa pemerintah menanam tebu untuk pabrik gula. Sebaliknya, pengelola pabrik bergerak dalam perniagaan dengan menyewa tanah petani miskin untuk menanam tebu (di samping mereka juga mengambil alih pengerahan tenaga kerja untuk menanam, memanen, dan mengangkut tebu).

Gagasan “kemerdekaan” bagi keberadaan petani pemilik tanah masuk ke dalam susunan pabrik gula, segera terkikis karena memuncaknya hutang di pedesaan Jawa abad ke- 19 dan apapun kewenangan “tradisional” tetap dijalankan oleh kepala desa (dan orang lain, seperti pemilik tanah luas di pedesaan) yang sering bekerjasama dengan industri gula.

Di bawah keadaan seperti ini, terjadi penyimpangan dalam prioritas perkembangan, karena pemusatan yang ditujukan pada jatah ekspor yang mudah, seperti yang terjadi tahun 1880-an dan terulang tahun 1930-an, menurun dalam pasar dunia. Keadaan “boom dan krisis” (bersekutu dengan kepemilikan internasional Belanda sebelumnya) pertanda buruk bagi dunia modal pertanian Indonesia jangka panjang seperti yang terjadi di Asia, terutama Jepang.

3. Perkembangan dalam Bidang Teknologi

Secara budaya, abad ke-19 merupakan jembatan ke dunia modern. Pada bagian akhir abad tersebut Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Pada akhir abad tersebut telah ada lembaga budaya penting yang akan membawa Indonesia ke modernisasi.

Mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf member sumbangan perubahan dalam waktu dan ruang yang dicitrakan dan bagaimana citraan ini dikaitkan. Lingkungan kota dengan aneka suku dan hubungan tercetak juga mulai mengubah cara seseorang melihat dirinya sendiri dalam masyarakat.

Sebagaimana kemajuan abad ke-19, tenaga uap membuat angkutan—baik darat maupun laut—lebih cepat dan lebih teratur. Dengan pembukaan Terusan Suez (1869) berarti bahwa jarak antara Eropa dan tanah suci Islam lebih mudah dicapai. Tahun 1880, Nusantara sibuk dengan kapal-kapal api kecil dan perjalanan kapal api teratur menguasai perjalanan orang Eropa. Tahun 1860- an, rel kereta mulai menggantikan angkutan yang dihela kuda di jalur utama Jawa.

Baik kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos pra-bayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Dalam beberapa dasawarsa, tiba-tiba dimungkinkan berhubungan jarak jauh dan pergi dengan ketenangan dan kepercayaan lebih besar.

Cakrawala dunia lebih luas, pergerakan fisik lebih besar, dan lingkungan nontradisional kehidupan kota mendukung jenis sastra baru. Yang paling awal ditulis dalam bahasa Melayu oleh Abdullah bin Muhammad al-Misri (1823) dan Abdullah bin Abdul Kadir (1838). Kisah perjalanan merupakan tema lama, namun cerita-cerita ini dimasukkan ke dalam orang pertama, yang mengaitkan sudut pandang orang-orang istimewa, orang-orang kota, dan kaum pinggiran pada masyarakat tradisional.

Perluasan pertanian komersial, terutama gula di Jawa, memerlukan prasarana industri pabrik dan rel kereta yang mendukung bandar utara Jawa seperti Semarang dan Surabaya. Pertumbuhan cepat pusat perniagaan kota ini, bersama dengan jaringan angkutan pedalaman dan sistem pos, mendukung revolusi besar perhubungan abad ke-19: kemunculan koran.

Teknologi percetakan pertama datang ke Hindia tahun 1659, namun baru pada abad ke-19 sejumlah besar dicetak dalam bahasa Indonesia oleh markas penginjil Protestan di Straits Settlements (1817), Ambon (1819), dan Batavia (1822). Pembacanya terbatas, dan penguasa Belanda yang menyadari bahaya teknologi tersebut tetap menangani secara bebas sampai tahun 1848.

Keadaan berubah pada tahun 1855 dengan peluncuran surat kabar mingguan Jawa di Surakarta. Bromartani, dipimpin oleh orang Indo-Eropa, G.F. Winter, memuat berita keagamaan mengenai kelahiran dan kematian, penjualan dan pelelangan, peristiwa istana, keputusan, dan ketetapan pemerintah, bersama artikel tentang kemajuan pertanian dan kutipan karya sastra.

Tahun berikutnya, Soerat Kabar Bahasa Melaijoe, yang merupakan perintis banyak surat kabar komersial yang berpusat di bandar Jawa Utara selama sisa abad tersebut, diluncurkan di Surabaya. Semula perhatiannya pada iklan, harga pasar terbaru, dan informasi perkapalan. Bintang Timor, yang terbit dua kali seminggu di Surabaya tahun 1861, merupakan surat kabar pertama yang memberitakan persoalan setempat termasuk keadaan social dan ekonomi, memuat “berita dari surat” yang berhubungan dengan Eropa dan Cina.

Jumlah pembaca surat kabar Melayu dan Jawa ini mencerminkan persebaran keberaksaraan dan pendidikan gaya Barat yang terbatas, sebagian besar masyarakat kota, terutama orang Cina dan priyayi bergaji. Pada dasawarsa pertama, surat kabar dicetak oleh orang Indo-Eropa, dengan orang Cina yang datang menguasai kepemilikan tahun 1880-an, dan kepemilikan pribumi menjadi sangat berarti baru abad ke-20.

Dari semua dampak yang ditimbulkan oleh industrialisasi terhadap bangsa Indonesia pada masa kolonial, ada sisi positif yang dapat kita ambil manfaatnya. Pada masa itu, Indonesia mengalami paduan kental perkembangan ekonomi, urbanisasi, dan revolusi dalam perhubungan. Seperti telah dijelaskan di atas, hadirnya mesin cetak, kapal api, rel kereta, dan telegraf member keuntungan terhadap bangsa Indonesia.

Dalam bidang perhubungan, misalnya, hadirnya tenaga uap membuat transportasi darat dan laut lebih cepat dan teratur. Masyarakat Indonesia dapat melakukan perjalanan jarak jauh dengan ketenangan dan kepercayaan lebih besar. Di bidang lain, hadirnya kapal api maupun kereta api memungkinkan terwujudnya layanan pos umum yang teratur, dan berjalan dengan perangko pos prabayar dan kantor pos di kota besar Jawa tahun 1862. Semua itu merupakan dampak positif dari industrialisasi pada masa colonial yang dapat kita pelihara dan kita lanjutkan keberlangsungannya.


0 komentar:

Post a Comment