December 23, 2013

Versi materi oleh D Endarto


Aktivitas perjuangan diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satu strategi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah dengan cara melakukan aktivitas diplomasi. Aktivitas perjuangan melalui cara diplomasi yang dilakukan antara lain sebagai berikut.



1. Perundingan Hooge Veluwe

Perundingan Hooge Veluwe merupakan lanjutan pembicaraan-pembicaraan yang didasarkan atas persetujuan yang telah disepakati antara Sutan Syahrir dan Van Mook. Kesepakatan itu tertuang dalam usul pemerintah Indonesia tanggal 27 Maret 1946. Perundingan itu diadakan di kota Hooge Valuwe, Belanda tanggal 14 - 25 April 1946.


Delegasi yang hadir dalam perundingan Hooge Veluwe.

a. Delegasi Belanda terdiri dari: Perdana Menteri Prof. Ir. Dr. W. Schermerhorn, Menteri Daerah-daerah Seberang Lautan Prof. Dr. J.H. Logemann, Menteri Luar Negeri Dr. J.H. van Roijen, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, Prof. Baron van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letnan Kolonel Surio Santoso.

b. Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Kehakiman Mr. Suwandi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.G. Pringgodigdo.

c. Pihak perantara Sir Archibald Clark Keer beserta stafnya. Dalam perundingan ini Belanda hanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura. Dengan demikian perundingan ini tidak member kemajuan bagi RI, akhirnya perundingan ini dianggap gagal.






Lord Killearn akhirnya berhasil membawa wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Republik Indonesia dalam perundingan tersebut diketuai oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir, sementara Belanda diwakili oleh suatu komisi umum yang dikirim dari negeri Belanda di bawah pimpinan Prof. Schermerhorn.

Dalam perundingan tersebut masalah gencatan senjata yang telah gagal dalam perundingan pada tanggal 30 September 1946, disetujui untuk dibicarakan lebih lanjut dalam tingkat panitia yang juga diketuai oleh Lord Killearn. Dari pihak Indonesia dalam panitia tersebut duduk Perdana Menteri Sjahrir sendiri, sedangkan utusan Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.



3. Agresi Militer Belanda I (21 Juli 1947)

Perbedaan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan dalam persetujuan Linggajati, menyebabkan hubungan Indonesia – Belanda cenderung menuntut antara lain seperti berikut.

a. Menempatkan Indonesia sebagai negara commonwealth (persemakmuran) dan akan berbentuk federasi, sedangkan hubungan luar negerinya diurus Belanda.
b. Agar segera diadakan gendarmerie (pasukan keamanan) bersama.

Tuntutan Belanda tersebut ditolak oleh Indonesia. Akibatnya pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan Agresi Militer Belanda I. Dalam agresinya Belanda berusaha menguasai kota-kota penting di Indonesia. Rakyat Indonesia pun tidak tinggal diam, dengan peralatan sederhana segera melancarkan perang gerilya. Sementara agresi sedang berlangsung, pesawat Dakota yang membawa obat-obatan dari Singapura pada tanggal 29 Juli 1947 jatuh ditembak oleh pesawat Belanda di Yogyakarta. Dalam peristiwa tersebut gugurlah Komodor Muda Udara Adi Sucipto, Komodor Muda Udara Dr. Abdurrahman Saleh, dan Opsir Muda Udara I Adi Sumarmo Wiryokusumo.




Agresi Militer Belanda I mendapat reaksi keras dari dunia internasional, khususnya dalam forum PBB. Dalam rangka usaha penyelesaian damai, maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara-negara anggota KTN yaitu:
a. Australia (pilihan Indonesia) diwakili oleh Richard Kirby
b. Belgia (pilihan Belanda) diwakili oleh Paul van Zeeland
c. Amerika Serikat (pilihan Indonesia dan Belanda) diwakili oleh Frank Graham.




5. Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948)

Sebagaimana perundingan sebelumnya, dalam Perundingan Renville Belanda juga mengingkarinya dengan jalan melancarkan Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948. Tindakan tidak terpuji yang dilakukan Belanda adalah menyerbu Lapangan Terbang Maguwo di Yogyakarta. Akibatnya seluruh kota Yogyakarta dikuasai oleh Belanda. Dalam situasi darurat, Presiden Sukarno memerintahkan kepada Syafrudin Prawiranegara yang berada di Bukittinggi, Sumatra Barat untuk membentuk pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Tujuan dibentuknya PDRI adalah agar kelangsungan hidup pemerintah Republik Indonesia tetap terpelihara, tertib, dan lancar.



6. Serangan Umum 1 Maret 1949

Setelah terjadi Agresi Militer II pada bulan Desember 1948, Tentara Nasional Indonesia/ TNI mulai melakukan konsolidasi untuk menyerang Belanda. Puncak serangan TNI itu terjadi pada 1 Maret 1949. Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta dipimpin oleh Letkol. Soeharto. Ternyata serangan tersebut berhasil menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam. Dengan demikian


Serangan Umum membawa pengaruh atau akibat.

a. Pengaruh ke dalam negeri
1) Mendukung perjuangan diplomasi.
2) Meningkatkan semangat TNI yang berjuang di daerah lain.

b. Pengaruh ke luar negeri
1) Mematahkan semangat pasukan Belanda.
2) Menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih mampu melaksanakan ofensif (serangan).




Atas prakarsa komisi PBB untuk Indonesia atau UNCI/United Nations Comissions for Indonesia, Indonesia-Belanda berhasil dibawa ke meja perundingan yang disebut Perundingan Roem-Royen.


Delegasi yang hadir pada perundingan tersebut.
a. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mr. Moh. Rum.
b. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. Van Royen.




Pendekatan antara pimpinan Republik dan BFO yang semakin hangat menjelang dilaksanakan Perundingan Roem - Royen dan kontak-kontak menjelang dan setelah Pemerintah Republik kembali ke Yogya, telah membuka jalan untuk mengadakan Konferensi Inter Indonesia. Delegasi RI ke Konferensi Inter Indonesia, terbentuk 18 Juli 1949 dipimpin oleh Wakil Presiden/PM Moh. Hatta. Sedangkan delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak dan Anak Agung dari NIT. Konferensi Inter Indonesia bertujuan untuk menyatukan pendapat antara RI dan BFO dalam rangka menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi dilaksanakan dua tahap.




Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada tanggal 23 Agustus - 2 November 1949. Delegasi yang hadir dalam KMB.
a. Delegasi RI : Drs. Moh. Hatta
b. Delegasi BFO : Sultan Hamid
c. Delegasi Belanda : Mr. Van Maarseven
d. Wakil UNCI : Chritchley



10. Pengakuan Kedaulatan

Untuk mempersiapkan pembentukan negara RIS, pada tanggal 15-16 Desember 1949, Moh. Roem memimpin sidang Panitia Pemilihan Nasional (PPN) di Jakarta. 

Keputusan siding PPN yaitu:
a. memilih Ir.Soekarno sebagai Presiden RIS dan Drs. Moh.Hatta sebagai wakilnya
b. sebagai pemangku jabatan (acting) Presiden Republik Indonesia yaitu Mr.Asaat.

Pengakuan kedaulatan dilaksanakan tanggal 27 Desember 1949 di tiga tempat, yaitu di Belanda, Jakarta, dan Yogyakarta.
a. Di Belanda Ratu Yuliana, Perdana Menteri Williem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Mr. Sassen menyampaikan pengakuan kedaulatan kepada Moh.Hatta.
b. Di Jakarta Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.J.H.Lovink menyampaikan pengakuan kedaulatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono IX.
c. Di Yogyakarta Penyerahan kedaulatan RI kepada RIS dilakukan oleh pejabat Presiden Mr. Asaat kepada A. Mononutu (Menteri Penerangan RIS).

0 komentar:

Post a Comment