June 10, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dam Wawan Darmawan



Bila melihat sejarah, diperkirakan agama Buddhalah agama yang pertama masuk ke Indonesia, khususnya Sumatera (Sriwijaya pada abad ke-7), sebelum akhirnya ke Jawa Tengah (Mataram Kuno dengan adanya Dinasti Syailendra abad ke-9). Setelah itu barulah agama Hindu masuk ke Indonesia, khususnya Kalimantan dan Jawa bagian barat, tengah, dan kemudian timur. Persinggungan dua agama produk Jazirah India dengan kepercayaan local melahirkan praktik keagamaan yang tipikal. Konsep pemujaan terhadap arwah leluhur berpadu dengan konsep pengagungan terhadap dewa-dewi India.


Kepercayaan animisme dan dinamisme yang bercampur dengan praktik paganisme membentuk tradisi yang sinkretis, unsur-unsur asli sudah bersenyawa dalam bentuk yang ”baru”. Bangunan zaman Megalitikum yang sederhana dan kaku dipersatukan dengan candi-candi Hindu-Buddha yang arsitekturnya lebih maju dan modern. Jenazah seseorang yang berkuasa (kepala suku atau ketua adat) yang sebelumnya disimpan di peti batu, sarkofagus, menhir, dan bangunan megalitik lainnya (tidak dikubur dalam tanah) diganti oleh pembakaran jenazah yang abunya diletakkan di ruangan candi. Lalu abu jenazah tersebut ditaburkan di sungai atau laut agar jasad besarnya ”menyatu” lagi dengan alam dan jiwanya tenang di alam swarga.

Proses interaksi masyarakat Indonesia dengan budaya asing berlanjut terus-menerus hingga datanglah pengaruh Islam yang dimulai dari Pasai hingga Ternate-Tidore, dari Malaka hingga Maluku. Ketika Islam datang, masyarakat Indonesia telah berada dalam pengaruh Hindu-Buddha yang masing-masing penganutnya hidup berdampingan. Kedatangan kaum muslim yang relatif damai tersebut diterima oleh sebagian masyarakat pribumi Indonesia, terutama kaum bangsawan dan pedagang. Melalui pendekatan budaya, pengenalan Islam sebagai agama pendatang kepada masyarakat Indonesia penganut Hindu- Buddha, berproses cukup damai. Peranan para ulama dalam penyebaran agama Islam disambut oleh masyarakat karena dakwah yang dilakukan menggunakan pendekatan yang menyesuaikan dengan adat lokal, tanpa menghilangkan tradisi sebelumnya yang lebih tua.

Pendekatan kultural ini dapat dilihat pada, misalnya, menara Masjid Kudus yang mirip dengan atap candi Hindu-Buddha atau gapura di komplek makam raja-raja Mataram-Islam di Imogiri yang berbentuk seperti gapura zaman Majapahit. Dalam hal seni, ada Sunan Kalijaga yang konon sering mempertunjukkan tontonan wayang dalam menarik perhatian umat nonmuslim di Jawa dengan menyisipi ajaran-ajaran Islam yang ringan. Meskipun, kisah yang digelarnya diambil dari kakawin Mahabharata dan Ramayana atau cerita-cerita rakyat-tutur (legenda dan mitos), namun sehabis pagelaran wayang usai Sunan Kalijaga tidak meminta upah melainkan meminta para penonton mengucapkan dua kalimat syahadat (Aku bersaksi, tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan [rasul] Allah).

Cerita pewayangan yang telah dikenal sejak zaman Mataram Kuno yang semula berwujud boneka (golek) yang tiga dimensi oleh Sang Sunan dibentuk menjadi pipih (dua dimensi) yang terbuat dari kulit binatang. Contoh lain dari islamisasi dalam koridor kebudayaan ini adalah busana yang dipakai Raden Patah sewaktu menjadi penguasa Demak bukanlah pakaian adat Timur- Tengah, melainkan memakai kuluk, jamang, dan sumping laiknya bangsawan Jawa yang Hindu-Buddha. Selain hanya cukup mengucapkan syahadat, Islam tidak mengenal struktur social kasta seperti dalam Hindu.

Di samping faktor internal yang bersifat sosiokultural, factor luar pun cukup memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan Islam. Faktor luar tersebut di antaranya adalah tingkat intelektualitas kaum muslim yang—dalam beberapa hal—lebih tinggi dari masyarakat pribumi. Misalnya tradisi menulis: sebelumnya hanya para brahmana dan pujangga saja yang mampu membaca dan menulis aksara (Sansekerta, Kawi, Melayu Kuno, dan abjad tradisional lainnya); dan setelah Islam masuk tradisi menulis lebih berkembang karena hampir semua kalangan di umat muslim melek huruf— setidaknya hanya mampu membaca sekalipun.

Perpaduan antara unsur budaya asli, Hindu-Budha dan Islam membentuk corak tersendiri di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Oleh para wali dan sunan, corak kebudayaan yang lama tidak dihilangkan dengan alasan agar masyarakat tidak terlalu kaget dengan perubahan. Dengan demikian, ajaran Islam dapat diterima dengan mudah dan tanpa ketakutan. Kaum ulama menyadari bahwa masyarakat Indonesia bersifat plural, masyarakat yang beranekaragam dalam hal bahasa, budaya, dan suku-bangsa. Unsur-unsur tradisi masih melekat dapat dirasakan hingga sekarang, di antaranya acara tahlilan, halal bi halal, berziarah, sekatenan, dan tembangan khususnya di Jawa.

0 komentar:

Post a Comment