October 23, 2013

Versi materi oleh Marwan S


Pada masa bercocok tanam, teknologi pembuatan alat mengalami kemajuan pesat apalagi ketika ditemukannya teknik peleburan, percampuran, penempaan, dan pencetakan logam. Semula jenis-jenis logam seperti besi, tembaga, timah, dan emas dibuat dengan teknik peleburan sederhana, kemudian dengan teknik percampuran menghasilkan perunggu yang lebih kuat. Pembuatan alat-alat dari logam semula menggunakan cara ditempa dan dipanaskan, kemudian menggunakan teknik setangkup (bevalve) dan cetakan lilin (a cire perdue). Teknik setangkup dengan menggunakan model cetakan dari tanah liat, sedangakan cetakan lilin modelnya dibuat dari lilin, kemudian dibungkus dengan tanah liat. Setelah dipanaskan lilin akan mencair keluar dan terbentuk rongga. Pembuatan alat dan benda-benda pusaka serta gelang dari bahan besi agaknya terbatas pada daerah-daerah tertentu di Pulau Jawa. Jenis-jenis benda besi itu berupa mata kapak, mata pisau, mata sabit, mata alat penyiang rumput, mata pedang, mata tombak, dan gelang besi.

Pada masa bercocok tanam dan tinggal menetap, misalnya sudah menguasai pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan usaha pertanian mereka. Teknologi pengairan sederhana pada waktu itu kemungkinan sudah dikuasai. Begitu juga pengetahuan mengenai iklim dengan memahami tanda-tanda alam untuk mengetahui kapan musim hujan dan kapan musim kemarau. Pengetahuan mengenai musim ini sangat penting bagi usaha bercocok tanam mereka. Melihat alat-alat yang mereka kuasai, terutama kapak, dan terdapatnya buktibukti bahwa mereka sudah mengenal dan menemukan api, kemungkinan mereka sudah mengembangkan transaportasi air. Semula bentuk transportasi yang digunakan adalah rakit yang pembuatannya tidak terlalu sulit. Rakit digunakan pertama kali oleh manusia di pedalaman. Selain bahan-bahannya berupa bambu banyak tersedia, rakit sangat praktis untuk transportasi sungai.

Sedangkan teknologi pembuatan perahu muncul kemudian ketika manusia dapat menguasai api dan mengembangkan kapak batu bertangkai. Dalam membuat perahu dilakukan secara bersama-sama, yaitu dengan cara pohon yang sudah ditebang dibakar sedikit lalu membuat lubang cekung dengan mengerakan kapak, kemudian dibakar lagi lalu dilubangi lagi. Demikian berulang-ulang sampai terbentuk lunbang besar di tengah-tengah kayu.



Ketika manusia sudah mengembangkan usaha bercocok tanam dan tinggal menetap, tuntutan terhadap alat-alat penunjang kehidupannya juga mengalami perkembangan. Fungsi alat tidak hanya untuk berburu atau mengolah tanah. Akan tetapi juga untuk keperluan-keperluan yang bersifat keagamaan. Bahkan pada masa berikutnya pembuatan benda-benda sudah mulai menampakkan aspek-aspek seni yang sangat indah.

Masa bercocok tanam ini ditandai dengan berkembangnya kemahiran mengasah alat-alat batu dan pembuatan gerabah. Alat yang diasah adalah kapak batu dan beliung serta mata panah dan mata tombak. Alat-alat batu yang berupa beliung persegi merupakan alat yang paling umum digunakan pada masa itu. Hal itu terlihat dari temuan-temuan alat batu yang tersebar di beberapa tempat terutama di kawasan bagian Barat Indonesia.

Bentuk beliung kebanyakan memanjang dan seluruh permukaannya diasah halus kecuali di bagian pangkal untuk tempat mengikat tangkainya. Cara membuat bagian yang tajam dengan mengasah bagian samping untuk memperoleh tajaman miring seperti tajaman pahat sekarang ini. Jenis batubatuan kalsedon, agat, dan jaspis paling umum digunakan untuk bahan pembuatan beliung. Di beberapa daerah terdapat variasi dari alat beliung ini, seperti beliung yang dibuat dari bahan khusus batu setengah permata, beliung bahu, beliung tangga, beliung atap, beliung biola, dan beliung penarah. Adanya variasi-variasi itu, selain menunjukkan perbedaan bentuk dan cara penggrapannya juga masing-masing alat itu mempunyai fungsi yang berbeda.

Persebaran beliung dan beberapa variasinya terdapat di daerah Bengkulu, Palembang, lampung (Sumatera), Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Semarang, Kedu, Yogyakarta, Wonogiri, Punung, Surabaya, Madura, Malang, Besuki (Jawa), dan daerah
lainnya adalah Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Adonara, Ternate, Maluku, Sangihe, dan Talaud. Beberapa tempat seperti Tasikmalaya, Bogor, Punung, dan Palembang diperkirakan sebagai pusat pembuatan dan perbaikan beliung persegi.

Pada masa yang hampir bersamaan, di wilayah Indonesia Timur, seperti Sulawesi, Maluku, Flores, dan Irian, berkembang pembuatan alat batu berupa kapak lonjong. Bentuk kapak lonjong ini, sesuai dengan namanya berbentuk lonjong tetapi pada bagian tajamnya agak runcing dan melebar. Bedanya kapak lonjong dengan jenis kapak batu lainnya adalah pada tajaman. Tajaman kapak lonjong simetris atau dua sisi dan bahan yang digunakan untuk membuat kapak lonjong kebanyakan dari batu kali berwarna kehitam-hitaman. Beberapa alat ini seluruh permukannya diasah halus.

Selain alat-alat seperti serpih terutama anak panah, juga bahan-bahan dari tulang mengalami perkembangan. Bahan-bahan dari tulang berupa lancipan melengkapi alat-alat batu dalam upaya manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Fungsi alat pada masa bercocok tanam tidak saja untuk membantu manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa makanan, tetapi juga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rohani. Fungsi itu, misalnya untuk perhiasan atau pelengkap upacara.

Sementara itu, kebutuhan manusia juga semakin luas, umpamanya kebutuhan akan pakaian. Hal itu terlihat dari temuan alat batu berupa alat pemukul kulit kayu. Perhiasan mungkin tidak hanya untuk memenuhi tuntutan keindahan saja tetapi juga digunakan untuk alat tukar. Ada temuan benda-benda perunggu di Indonesia yang mempunyai kemiripan dengan temuan benda-benda di Dongson (Vietnam). Hal itu diduga ada hubungan diantara keduanya. Adanya perkembangan teknologi pembuatan alat dari bahan logam tersebut tidak serta merta menghapuskan alat-alat dari batu. Pembuatan gerabah, misalnya, justru mengalami perkembangan baik untuk keperluan sehari-hari maupun untuk upacara-upacara penguburan dan keagamaan.

Pada masa bercocok tanam telah ada kemampuan membuat barang-barang dari gerabah, barang anyaman, dan barang-barang tenun. Barang-barang gerabah pada mulanya dibuat dengan cara yang sederhana, setelah banyak pengalaman mutunya makin diperbaiki, demikian pula pola hiasan dan warnanya. Alat-alat pada masa itu telah diupam (diasah) sampai halus. Bahkan ada alatalat yang terbuat dari batu indah seperti batu kaldosen, batu api, dan lainnya. Alat-alat tersebut mungkin tidak digunakan sehari-hari dan diduga sebagai alat tukar, jadi semacam alat pembayaran. Alat yang dipakai sehari-hari kebanyakan terbuat dari batu hitam atau batu kali. Oleh karena bahan untuk membuat alat-alat tersebut tidak terdapat di sembarang tempat, maka kemungkinan besar alat-alat semacam itu menjadi barang perdagangan.

Alat-alat batu masa itu sudah bagus dan hasil buatannya. Ada pula alat-alat dari batu yang dibuat dari batu indah yang disebut Kalsedon dan batu api. Alat-alat batu indah tersebut diduga berfungsi sebagai alat tukar. Untuk mempertahankan hidupnya, manusia bercocok tanam membuat perkakasperkakas seperti beliung persegi, kapak lonjong dan mata panah. Kelompok manusia bercocok tanam merupakan suatu kelompok masyarakat yang sudah menetap dan teratur. Mereka hidup dalam perkampungan yang terus tumbuh menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih besar.


a. Kapak Lonjong

Kapak ini bentuknya yang umum lonjong dengan pangkal agak runcing dan melebar pada bagian tajamnya. Bagian tajam ini diasah dari dua arah dan bentuk bagian tajamnya simetris. Di sinilah bedanya dengan beliung persegi yang tidak pernah memiliki bagian tajam yang simetris (setangkup). Bahan yang dipergunakan untuk membuat beliung tersebut umumnya dari batu kali yang berwarna kehitam-hitaman. Ada juga kapak lonjong yanmg berukuran kecil yang mungkin dipergunakan sebagai benda pusaka.
Daerah penemuan kapak lonjong di Indonesia hanya terbatas di daerah bagian timur, yaitu: Sulawesi, Sangihe-Talaud, Flores, Maluku, Leti, Tanimbar, dan Irian. Di luar Indonesia kapak-kapak lonjong ditemukan tersebar luas meliputi Birma, Laos, Cina, Mancuria, taiwan, Jepang, Filipina, dan juga India.


b. Beliung Persegi

Masa bercocok di Indonesia bersamaan dengan berkembangnya kemahiran mengupam (mengasah) alat-alat baru serta mulai dikenal cara pembuatan barang gerabah. Di antara alat-alat batu yang paling menonjol pada masa bercocok tanam di Indonesia adalah beliung persegi. Daerah penemuannya meliputi hampir seluruh kepulauan Indonesia, terutama di bagian barat. Di luar Indonesia alat-alat semacam itu ditemukan pula di Malaysia, Thailand, Vietnam, Khmer, Cina, Jepang, Taiwan, Filipina, dan Polinesia.

Pada umumnya beliung ini berbentuk memanjang dengan penampang lintang persegi. Bagian pangkalnya tidak diasah sebagai tempat ikatan tangkai. Ukuran dan bentuknya bermacam-macam tergantung pada penggunaannya. Yang paling kecil semacam pahat berukuran panjang kirakira 4 cm dan yang panjang kira-kira sampai 25 cm, dipergunakan untuk mengerjakan kayu. Bahan batuan yang digunakan membuat beliung-beliung itu pada umumnya berupa batu kalsedon, agat, chert, jaspis, dan sebagainya. Beliung batu oleh kalangan penduduk petani di beberapa tempat disebut “gigi halilintar” atau “gigi guntur”.

Ada bermacam-macam variasi yang kita kenal dari beliung persegi. Variasi yang paling umum ialah “belincung”, yaitu berpunggung tinggi. Karena bentuk punggung tersebut, maka penampang lintang menjadi segitiga, segi lima atau setengah lingkaran. Variasi ini kebanyakan ditemukan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali. Perhatian terhadap beliung persegi dan kapak batu yang diasah halus di Indonesia mulai sekitar tahun 1850 oleh beberapa ahli bangsa Eropa. Waktu itu yang dijadikan bahan studi berasal dari temuan-temuan lepas, yang pengumpulannya diusahakan oleh sebuah perkumpulan swasta (antara tahun 1800-1850) yang bernama “Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”. Koleksi perkumpulan ini disimpan di Museum Pusat di Jakarta.

Dari temuan-temuan lepas dapat diketahui daerah persebaran beliung persegi termasuk bentuk-bentuk variasinya di Sumatera (Bengkulu, Palembang, Lampung), Jawa (Banten, Bogor, Cibadak, Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Pekalongan, Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Punung, Surabaya, Malang, Besuki), Madura, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Solor, Maluku, Sangihe dan Talaud. Di antara tempat-tempat tersebut ada yang diperkirakan semacam bengkel-bengkel beliung persegi seperti di Bangamas (Palembang), Karangnunggal (Tasikmalaya), di desa Pasirkuda (Bogor), di daerah pegunungan Karangbolong (Kedu) dan di Punung dekat Pacitan, Jawa Timur. Beliung-beliung yang ditemukan dalam keadaan utuh diduga mempunyai fungsi magis dan atau dipergunakan sebagai alat tukar dalam sistem perdagangan sederhana.


c. Perhiasan

Dalam masa bercocok tanam, perhiasan-perhiasan berupa gelang dari batu dan kerang rupa-rupanya sudah dikenal. Perhiasan semacam ini kebanyakan ditemukan di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Bahan-bahan untuk membuat gelang itu terdiri atas batu pilihan seperti agat, kalsedon, dan jaspis yang berwarna kuning, merah, coklat dan hijau. Di luar Indonesia gelang-gelang batu juga ditemukan di Szechwan, Fengtien, Thail dan, Malaysia, Honan, pulau Lamma, dan Taiwan.

0 komentar:

Post a Comment