July 3, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan


Organisasi Keagamaan

Reformisme dan modernisme muncul pada abad ke-19 di Asia Barat Daya. Gerakan tersebut merupakan reaksi akan atas tantangan barat. Pusat gerakan adalah Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir dengan pemimpinnya Jamaluddin al-Afghani. Gerakan ini datang ke Indonesia berkat tokoh bernama Muhammad Iqbal dan Amir Ali.


Gerakan tersebut ingin mencari nilai yang dianggap sesuai dengan zaman modern. reformasi bersifat nasionalistis yang percaya pada kemajuan dan pengetahuan. Oleh karena itu, hidup yang didasari oleh bekerja rajin dinilai sangat positif, sedang fatalisme dan tanpa usaha dianggap tidak rasional dan ditolak. kaum reformis menginginkan agama Islam bersih dari bid’ah (bidat).

Kembali kepada Al-Quran adalah semboyan yang selalu didengungkan dan penghayatan pribadi lebih diutamakan. Reformisme Islam dapat dianggap sebagai gerakan emansipasi keagamaan dan agamanya dihargai sepenuhnya oleh orang barat. Akibatnya, nasionalisme berdasarkan agama Islam meluas, termasuk ke Indonesia.

Reformisme dan modernisme Islam masuk ke Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di Indonesia, reformisme dilakukan oleh sekelompok masyarakat Arab Hadramaut dan muslim India. Jalinan perkawinan dengan wanita Indonesia menyebabkan hubungan mereka menjadi akrab.

Pikiran dan gerakan reformisme dan modernisme diterima oleh mereka dan diteruskan ke masyarakat Indonesia. Perbaikan kaum muslim harus dilakukan melalui pendidikan yang sedapat mungkin mengimbangi pemikiran barat yang sudah ada.

a. Muhammadiyah

Gerakan Muhamadiyah didirikan oleh H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912. Asas perjuangannya adalah Islam dan kebangsaan Indonesia. Muhammadiyah bergerak dalam bidang keagamaan, pendidikan, sosial budaya yang menjurus kepada tercapainya kebahagiaan lahir & batin. Tujuan pokoknya ialah: menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Tujuan-tujuan Muhammadiyah yang sifatnya operasional, antara lainnya:
(1) mengembalikan pendidikan dan pengajaran yang berlandaskan agama Islam;
(2) mengembalikan ajaran Islam sesuai Qur’an dan Hadis dan membolehkan adanya ijtihad;
(3) mengajak umat Islam untuk hidup selaras dengan ajaran agama Islam;
(4) berusaha meningkatkan kasejahteraan hidup umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya;
(5) menyantuni anak yatim piatu;
(6) membina dan menyiapkan generasi muda agar kelak dapat menjadi pemimpin-pemimpin masyarakat, agama, dan bangsa yang adil dan jujur.

Karena merupakan gerakan reformasi Islam, Muhammadiyah tidak menghendaki adanya bid’ah, takhayul, klenik, dan taqlid. Di antara sekian usaha itu yang paling menonjol adalah usaha di bidang pendidikan dan sosial, ditandai dengan banyaknya sekolah-sekolah Muhammadiyah dari TK hingga perguruan tinggi dan panti asuhan anak yatim. Muhammadiyah juga mendirikam kepanduan, yang disebut Hizbul Wathan.

Di samping itu didirikan pula Aisiyah, perkumpulan wanita Muhamadiyah, didirikan pada 1918. Pimpinan pusat mula-mula dijabat oleh Siti Walidah Ahmad Dahlan, dan kemudian dilimpahkan pada Siti Bariyah. Kegiatan Aisiyah yang pokok adalah di bidang keagamaan, pendidikan, sosial, dan kewanitaan Islam.

b. Al-Irsyad dan Partai Arab Indonesia

Gerakan Islam modern juga dilakukan oleh keturunan Arab. Kelompok sayid yang mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad tetap mengelola Jamiat Khair, sedangkan kelompok yang bukan keturunan sayid mendirikan perkumpulan Al-Irsyad pada 1914 dengan bantuan Syekh Ahmad Surkati (asal Sudan) yang semula mengajar di Jamiatul Khair. Organisasi itu menekankan persamaan umat manusia.

Jumlah keturunan arab di Indonesia ternyata cukup banyak sehingga perlu diberi wadah dalam partai khusus. Lebih lagi karena mereka merasa lahir di Indonesia dari wanita Indonesia. Karena itulah A.R. Baswedan mendirikan Partai Indonesia pada tahun 1934. Tidak diragukan lagi bahwa partai itu menekankan Indonesia sebagai tanah airnya.

c. PerkumpulanPolitik Katolik Jawi

Di kalangan kaum Nasrani juga lahir organisasi, yakni PPKJ (Perkumpulan Politik Katolik Jawi), didirikan pada 22 Februari 1925 di Yogyakarta. PPKJ bertujuan turut berusaha sekuat tenaga bagi kemajuan Indonesia, didasarkan atas ajaran Katolik. Organisasi ini bersifat kooperatif.

Tokoh organisasi ini adalah I.J.Kasimo, seorang pegawai gubernemen. Pada Maret 1930 diadakan kongres pertama. Keputusannya antara lain menuntut penghapusan poenale santice dari aturan kuli kontrak.

d. Nahdlatul Ulama (NU)

Pusat penyebaran agama Islam di kota maupun di desa dikenal dengan nama pesantren. Tamatan pesantren diharapakan dapat mendirikan pesantren di tempat lainnya. Pada umumnya pesantren yang berpusat di pedesaan menjadi pusat pengajaran agama Islam yang sudah tua sekali, sedangkan pusat pengembangan Islam di kota biasanya datang kemudian dan menjadi pusat pembaruan Islam.

Dapat dikatakan bahwa pusat agama Islam dan pengikutnya di pedesaan adalah para ulama dan santri tradisionalis dan mereka yang tinggal di kota adalah pengikut modernis. Jadi, wadah gerakan Islam tradisionalis sebenarnya sudah ada sejak lama.

Makin meluasnya gerakan Islam baru di kota-kota seperti yang dilakukan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah, berarti mengurangi ruang gerak umat Islam di pedesaan. Untuk menampung dan memberikan wadah di pedesaan perlu dibentuk organisasi yang secara resmi mengikat anggotanya untuk mencapai tujuan tertentu.

Sementara itu, pada tahun 1926 di Hejaz, Arab Saudi, diselenggarakan Kongres Islam sedunia. Untuk menghadiri kongres itu masing-masing lembaga mengirim delegasinya hingga terbentuk delegasi Hejaz. Para ulama terkemuka terus membahas pemberian nama lembaga itu dan akhirnya Jam’iyatul Nahdlatul Ulama pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya. Delegasi Komite Hejaz mewakili NU. Delegasi itu sudah sah karena dikirim oleh sebuah organisasi Islam.

Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Para Ulama) adalah organisasi sosial keagamaan atau Jamiyyah Diniyah Islamiyah yang didirikan oleh para ulama, yaitu K.H. Hasyim Asy’ari, K.H. Abdullah Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H. Mas Alwi, dan K.H. Ridwan. Mereka pemegang teguh pada salah satu dari empat mahzab, berhaluan Ahlussunnah waljama’ah. Tujuannya tidak saja mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam, tetapi juga memperhatikan masalah sosial, ekonomi, dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada umat manusia.

Pada dasarnya Nahdlatul Ulama tidak mencampuri urusan politik dan dalam kongresnya pada bulan oktober 1928 di Surabaya diambil keputusan untuk menentang reformasi kaum modernis dan perubahan yang dilakukan wabahi di hejaz. Kaum Islam reformis dalam beberapa hal bersikap seperti kaum nasionalis yang tidak mengaitkan agama, misalnya dalam masalah perkawinan, keluarga, kedudukan wanita, dan sebagainya. Pusatpusat NU ada di Surabaya, Kediri, Bojonegoro, Bondowoso, dan Kudus. Pada tahun 1935 NU sudah memilki 68 cabang dengan anggotanya 6.700 orang.

Di dalam Kongres NU di Menes (Banten) tahun 1938, jelas NU berusaha meluaskan pengaruhnya di seluruh Jawa. Pada kongres tahun 1940 di Surabaya diputuskan berdirinya bagian wanita, Nahdlatul Ulama Muslimat dan bagian Pemuda Anshor (sudah dibentuk beberapa tahun sebelumnya). Pemuda Anshor didirikan berdasarkan pan Islamisme. Oleh karena itu, Anshor berhaluan Internasional.

e. Ahmadiyah

Gerakan Ahmadiyah Indonesia didirikan oleh Mirza Wali Ahmad Beid pada bulan September 1929. Organisasi itu berdasarkan pada Al-Quran sebagai kitab suci yang menjadi sumber dan arah hidup terbaik. Ada keyakinan bahwa nabi muhammad adalah nabi penutup dan manusia harus mengikuti contoh perbuatannya, dan mengaku adanya pembaharu (mujaddid) setelah Nabi Muhammad.

Ahmadiyah muncul karena adanya pengaruh dari Ahmadiyah di Kadian India yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai mujaddid pada tahun 1884. Ahmadiyah menekankan kewajiban manusia untuk bertindak baik dengan penuh persaudaraan, hormat-menghormati, ramah, dan sebagainya. Pada tahun 1908 terjadi perpecahan karena salah seorang pemimpinnya, Kwayah Kamaludin mendirikan Ahmadiyah berpusat di Lahore.

Ahmadiyah Kadiyan, dan Lahore sangat besar pengaruhnya di Indonesia dan Yogyakarta dijadikan pusatnya. Ahmadiyah di Indonesia tidak mencampuri urusan politik dan hanya mempersoalkan prinsip keagamaan dalam Islam. Pengaruh Ahmadiyah di kalangan pemuda dan pelajar yang berpendidikan barat cukup kuat.

f. Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) 1937

Majelis ini disebut juga Majelis UI Islamil A’la Indonesia atau Majelis Islam Luhur. MIAI didirikan di Surabaya pada September 1937 atas prakarsa tokoh-tokoh Muhammadiyah, PSII, PII, Al- Irsyad, Persis, Persatuan Ulama Indonesia, Al-Washiliyah, Al- Islam, Warmusi (Wartawan Muslim Indonesia).

Adapun susunan pengurusnya sebagai berikut: Ketua: K.H.A. Wahid Hasyim (NU), Wakil Ketua I: K.H. Mas Mansyur (Muhammadiyah), Wakil Ketua II: Wondoawiseno (PSII), Bendahara: Sukirman, Sekretaris: Satrodiwiryo (Persis).

Mulanya MIAI tidak berpolitik, tetapi kemudian mengikuti kegiatan dalam aksi-aksi politik menetang penjajah bersama GAPI dan Majelis Rakyat Indonesia. Kegiatan MIAI yang utama adalah melaksanakan kongres-kongres partai dan organisasi Islam Indonesia. Pada masa penjajahan Jepang, kegiatan dan perjuangan MIAI dibubarkan oleh Jepang.

0 komentar:

Post a Comment