Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Islam sebagai agama, dalam berbagai hal, memiliki
ajaran-ajaran yang fleksibel, terutama menyangkut masalah sosial dan budaya. Al-Quran
dan hadist-hadist Nabi cukup banyak memuat pernyataan (firman Tuhan dan ucapan
Nabi Muhammad) yang mengajak umatnya untuk berpikir.
Maka dari itu, dalam ajaran Islam dikenal dengan
metode ijtihad, yaitu langkah dalam menafsirkan dalil-dalil yang
terdapat dalam al-Quran dan hadis yang kedudukan hukumnya belum jelas, secara
musyawarah. Dengan demikian, setiap ulama memungkinkan untuk mengambil tafsiran
yang berbeda-beda. Apalagi sejarah perkembangan Islam membuktikan adanya empat
mahzab yang berbeda, Maliki, Hanafi, Hambali, Syafei.
Masing-masing mahzab memiliki tolak ukur yang
berbeda dalam menafsirkan ayat-ayat suci. Dan setelah Islam bersentuhan dengan
budaya yang non-Arab, maka ajaran-ajarannya sedikitbanyaknya mengalami
pergeseran, bahkan ada yang melenceng jauh dari akidah dan syariah Islam yang
memang bersifat absolute dan mutlak. Masyarakat Indonesia sendiri mayoritas
menganut mahzab Syafei.
1. Aspek Peribadatan
Aspek peribadatan adalah aspek yang paling kentara
pengaruhnya dalam masyarakat Indonesia. Para sejarawan sebagian berpendapat bahwa
pengaruh Islam ke Indonesia pertama kali dibawa oleh perantara kaum tasawuf
sehingga amalan yang banyak dipraktikkan umat Islam, khususnya di Jawa, adalah
ajaran yang cenderung bersifat esoteris, artinya kebanyakan umat Islam untuk pertama
kali lebih banyak menghayati Islam dari aspek kebatinannya saja.
Hal ini sangat sesuai dengan cakrawala religious yang
dimiliki oleh orang Jawa yang sebelumnya telah terpengaruh secara kuat oleh
kebudayaan Hindu-Buddha. Kitab-kitab yang menggambarkan proses masuknya Islam,
seperti hikayat, babad, serat, banyak yang diselubungi oleh cerita-cerita magis
dan tidak rasional.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, aspek-aspek eksoteris
(yang boleh diketahui siapa saja) banyak dilaksanakan oleh kaum muslim seiring
dengan dakwah yang bersifat syariah oriented, berkembang dengan pesat. Pada tahap ini salat, zakat, shaum dan haji mulai diperkenalkan. Islam dengan segala
ritual peribatannya mulai tumbuh dan berkembang. Walau demikian, proses
akulturasi antara kedua kepercayaan tidak bisa dihindari lagi. Ajaran Islam dan
ajaran Hindu-Buddha menyatu dan akhirnya membentuk paham dan “aliran” baru.
Oleh orang Jawa, aliran ini disebut kejawen.
Bila memperhatikan stratafikasi sosial yang telah diungkapkan
oleh Clifford Geertz dalam bukunya Religion of Java, masyarakat Jawa bisa dikategorikan dalam 3 strata sosial. Pertama
adalah golongan Islam-priyayi yang mewakili golongan bangsawan dan keturunan
kerajaan. Kedua adalah abangan,
yaitu golongan yang tidak terlalu mementingkan aspek-aspek keagamaan. Mereka
masih terpengaruh dengan alam berpikir pra Islam. Ketiga adalah santri, golongan yang disiplin melaksanakan ajaran-ajaran
Islam dengan baik.
Akulturasi dan asimilasi kebudayaan agama
Hindu-Buddha dengan Islam paling banyak dilakukan oleh kaum abangan. Golongan
ini kebanyakan melaksanakan ajaran yang sinkretis. Mereka mempraktikkan
tradisi-tradisi Hindu seperti mempersembahkan sesaji untuk nenek moyang,
memakai kemenyan setiap waktu tertentu, dan praktik ritual lainnya Sementara
santri hampir secara keseluruhan menolak aspek-aspek yang terdapat dari tradisi
Hindu, apalagi menyangkut permasalahan kepercayaan dan ritual peribadatan.
Ritual peribadatan dalam Islam yang sampai hari ini berpengaruh
misalnya: perayaan tabut di Sumatera Barat, hari raya Assyura sebagai hari
raya kaum Syiah atas kematian Husein bin Abi Thalib di Karbala oleh orang-orang Khawarij. Di Yogyakarta ada upacara sekaten dan grebeg Maulud yang dihitung pada tahun baru Hijriyah.
Di daerah Sunda dan daerah lain ada upacara ekahan
atau ”aqiqah”, yakni acara pemotongan rambut pada bayi yang baru berusia
7 hari yang memang merupakan sunat Nabi Muhammad. Perayaan-perayaan keagamaan
lainnya yang dilaksanakan umat Islam di Indonesia adalah shalat Idul Fitri,
Idul Adha, hara Isra Mikraj, puasa pada bulan Ramadhan, dan lain-lain.
2. Aspek Pendidikan
Para ulama, termasuk wali, berperan besar terhadap
penyebaran Islam. Mereka pada mulanya mendirikan pesantren-pesantren di sekitar
kota pelabuhan (sebagai tempat transit kapal-kapal dagang) guna menyebarkan
dakwah Islamnya. Istilah “pesantren” berasal dari ucapan “pesantrian”, yakni
tempat para santri menimba ilmu agama. Di sinilah calon-calon santri—yang
tadinya nonmuslim— dididik oleh guru-guru mereka untuk membaca Al-Quran,
bacatulis huruf Arab, dan segenap aspek Islam lainnya.
Materi-materi yang diajarkannya sebagai besar
meliputi hukum (syariat) Islam Para Wali di Jawa, contohnya, sebelum berkumpul
di Masjid Demak, terlebih dahulu membuka pondok-pondok pesantren di daerah
lain. Sunan Ampel menjadi guru spiritual di Ngampel Denta di Giri; Sunan Gresik
memiliki pondok pesantren di Gresik; Sunan Kalijaga mengasuh pesantren di
Kadilangu, dekat Demak.
Sistem pendidikan Islam tradisonal ini—dalam arti
belum tersentuh sistem pendidikan ala Barat—berlangsung hingga abad ke-18.
Setelah pendidikan formal Barat diperkenalkan, materimateri yang diajarkan
dipesantren bertambah. Malah banyak di antaranya pesantren tersebut yang
menjadi pelopor perlawan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Atas nama Tuhan
dan semangat jihad melawan kaum penjajah yang kebetulan berbeda keyakinan,
pondok-pondok pesantren merupakan pusat perlawanan.
Meskipun semangat juang mereka belum didasari semangat
nasionalisme dan hanya bersifat kedaerahan, kaum santri yang didukung oleh
rakyat setempat dan segelintir kaum bangsawan begitu gigih dan berani mati.
Contoh-contoh perlawanan yang bersifat sosial dan lokal, di antaranya, perlawanan
rakyat Cilegon, Banten, yang dipimpin oleh Tugabus Ismail pada tahun 1818.
0 komentar:
Post a Comment