June 6, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan




Palembang

Pada awalnya Palembang termasuk ke wilayah kekuasaan Demak. Oleh Demak, Palembang dijadikan pangkalan untuk menyerang Portugis di Malaka, sekaligus untuk membendung serangan orang Eropa ke Jawa. Setelah Raja Demak, Raden Patah, wafat, sebagian bangsawan Demak melarikan diri ke Palembang. Mereka mendirikan kesultanan baru dengan Ki Gedeng Suro (1539-1572) sebagai raja pertama.


Ki Gedeng Suro digantikan oleh anaknya, Ki Gedeng Suro Muda pada tahun 1572. Pada tahun 1589 Ki Gedeng Suro Muda digantikan oleh Ki Mas Dipati. Ki Mas Dipati kemudian turun tahta pada tahun 1594 dan digantikan oleh Madi Angsuka. Pada masa Madi Angsuka ini, VOC mengirim rombongan di bawah pimpinan Crijn van Raenburg untuk membuka urusan dagang.

Utusan tersebut diterima dengan ramah karena Palembang merupakan pelabuhan terbuka bagi siapapun selama kaum pendatang mengikuti aturan-aturan Palembang. Belanda lalu mendirikan kantor dagang di samping Sungai Aur, berhadaphadapan dengan keraton Kesultanan. Kemudian, kantor dagang ini diubah menjadi loji yang dilengkapi dengan meriam.

Pemerintahan Madi Angsuka pada tahun 1629 digantikan oleh Madi Alit. Pada tahun 1630 ia digantikan oleh Seding Pura. Seding Pura memerintah Palembang hingga tahun 1639. Yang menjadi raja kemudian adalah Sedo ing Kenayan yang memerintah hingga tahun 1650.

Kemudian yang menjadi sultan selanjutnya adalah Abdurrachman yang memerintah dari 1659 sampai 1706. Pada tahun 1702 tiba-tiba VOC menyerang benteng Palembang di Kampung Candi. VOC menyerang dengan alasan bahwa pihak Palembang tidak memberikan perlindungan terhadap kepentingan dagang Belanda. Karena terdesak oleh kekuatan perang VOC yang lebih canggih, Sultan Abdurrahman mengungsi ke Jambi. Kekosongan kekuasaan di Palembang digunakan VOC di Batavia untuk mengangkat sultan pilihan mereka, yaitu Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama.

Sementara itu, di Palembang pun telah ada sultan baru yaitu Muhammad Mansyur Kebon Gede yang mulai memerintah pada tahun 1706. Sultan ini menjadi raja hingga tahun 1714. Baru pada tahun 1724 Sultan Mahmud Badaruddin Jaya Wikrama sah menjadi raja Palembang. Pada masa pemerintahannya, VOC semakin berkuasa dan melarang rakyat Palembang menjual lada serta timah kepada Inggris, Cina, Arab, dan India. Jadinya, pihak Belandalah yang menjadi konsumen tunggal.

Pada masa Badaruddin Jaya Wikrama ini perkembangan dunia Islam semakin pesat. Para ulama Arab diperlakukan secara istimewa. Sultan menempatkan mereka di jabatan-jabatan penting di Kerajaan, biasanya di bidang keagamaan. Sayid Aydarus, misalnya, bahkan dinikahkan dengan saudara perempuan Sultan pada tahun 1754. Dengan demikian, Palembang menjadi pusat keagamaan para ulama setempat, seperti Syekh Syihabuddin, Kemas Fakhruddin, Muhammad Muhyiuddin, serta Kemas Muhammad.

Badaruddin Jaya Wikrama berkuasa hingga tahun 1758. Sebagai penggantinya adalah Sultan Ahmad Najamuddin Adi Kesumo. Pada tahun 1776 Adi Kesumo turun tahta, digantikan oleh Muhammad Badaruddin. Sultan Muhammad Badaruddin berkuasa atas Palembang sampai tahun 1803. Yang tampil sebagai sultan berikutnya adalah Mahmud Badaruddin.

Pada tahun 1812, Sultan Mahmud berperang melawan pasukan Inggris yang mulai menguasai wilayah Nusantara setelah Belanda menyerah. Benteng Kesultanan Palembang di Bontang direbut oleh Inggris sehingga terpaksa Sultan mengungsi ke Muara Belida. Pada tanggal 19 Maret 1812, Sultan Mahmud Badaruddin diperintah Inggris untuk turun tahta. Oleh Inggris, Ahmad Najamuddin, adik Mahmud Badaruddin, naik singgasana Palembang. Pada 1816, Inggris menyerahkan Palembang kepada Belanda kembali. Pada tahun 1945, Kesultanan Palembang menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Karena letaknya yang strategis, Palembang menjadi Bandar transit dan ekspor lada. Pedagang muslim, India, dan Cina menjadikan Palembang sebagai tempat bertemu. Belanda lalu memonopoli perdagangan lada dan timah.


0 komentar:

Post a Comment