June 12, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan



Pengaruh dalam Kesusastraan

Karya sastra merupakan cerminan budaya di mana sastra tersebut lahir dan berkembang. Sejak masa prasejarah, sastra telah berkembang dari generasi ke generasi secara tuturan (folklore). Dengan masuknya tradisi Hindu-Buddha, seni sastra di Indonesia (terutama di Jawa dan Sumatera) mengalami perkembangan yang progresif, sastra lisan pun beralih menjadi sastra tulis yang menandakan zaman sejarah dimulai.


Para pujangga atau sekretarsi (juru tulis) istana menulis kitab-kitab dengan tema-tema beragam, tidak lagi terbatas kepada legenda dan mitologi semata, melainkan tema yang lebih rasional, yang bernilai sejarah. Karya-karya sastra India sangat kental pengaruhnya terhadap penulisan sastra yang berkembang pada masa kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia.

Pada mulanya para pujangga istana menerjemahkan kitabkitab India seperti Mahabharata dan Ramayana ke dalam bahasa ibu/daerah masing-masing, misalnya bahasa Melayu atau Jawa Kuno. Setelah kehidupan politik, sosial, ekonomi stabil, mereka kemudian menggubah atau memparafrasakan (menulis kembali berdasarkan kalimat-kalimat ciptaan sendiri; bukan sekadar mengalihbahaskan semata) sastra-sastra India tersebut.

Yang mempelopori penggubahan dari sastra India ke sastra Jawa Kuno (Kawi) adalah Dharmawangsa Teguh, yakni epic Mahabharata. Penggubahan ini makin pesat pada masa berikutnya. Lahirlah karya sastra dalam bentuk kakawin seperti: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa, Bharatayudha karya Mpu Sedah dan Mpu Panuluh, Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh, Kresnayana karya Mpu Triguna. Di daratan Sumatera dan Melayu lahir pula karya-karya saduran dari India seperti Hikayat Sri Rama (saduran dari Ramayana); Hikayat Pandawa, Hikayat Pandawa Panca Kelima, Hikayat Pandawa Jawa (semuanya saduran dari epos Mahabharata), serta Hikayat Sang Boma—meski ada kemungkinan baru ditulis setelah pengaruh Islam datang.

Selain menggubah dan menyadur, para pujangga makin memperlihatkan kematangannya sebagai budayawan. Mereka mulai mengarang kisah-kisah sendiri meski temanya tidak jauh dengan karya-karya pada zaman sebelumnya. Masa ini di Jawa disebut masa Jawa-Hindu-Buddha bukan lagi masa Hindu-Buddha- Jawa, yang artinya bahwa para sastrawan telah menemukan “jati diri” mereka sebagai orang Jawa dalam bekarya; begitu pula di Ranah Melayu dan daerah-daerah lain di Indonesia.

Berikut ini adalah sejumlah karya “asli” para pujangga Jawa: Negarakretagama karya Mpu Prapanca, Sutasoma karya Mpu Tantular, kitab Pararaton, Kidung Sunda, Ranggalawe, Sorandaka, Usana Jawa, Sutasoma karya Mpu Tantular, Smaradhana karya Mpu Dharmaja, Lubdaka dan Wrtasancaya karya Mpu Tanakung. Setelah masyarakat Indonesia mengenal agama dan kebudayaan Islam, perkembangan dunia sastra makin pesat.

Banyak karya sastra yang bersifat historiografi tradisional yang di dalamnya memuat elemen-elemen kesejarahan namun tetap mengandung unsur-unsur pra-Islam. Kitab-kitab seperti Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Aceh, Hikayat Hasanuddin dapat dijadikan sumber dalam melacak sejarah kedatangan Islam ke Indonesia. Di Jawa muncullah kitab-kitab dalam bentuk suluk, hikayat, serat, dan perimbon. Perimbon ini berisi ramalan dan penentuan hari yang baik untuk berdagang, mencari ilmu, menikah, acara syukuran, dan sebagainya.

Pada masa Mataram-Islam, pengaruh seni musik, sastra, dan bahasa Jawa menyebar ke wilayah lainnya di Nusantara. Sebagai pihak yang paling berkuasa secara politik, otomatis Mataram pun menghendaki bahwa seni-budaya khas Mataram dikenal dan dipelajari oleh kerajaan-kerajaan lain sebagai bawahannya. Oleh karena itu, misalnya, di daerah Priangan (Jawa Barat) dikenal sejumlah kosa kata dan tembang yang berasal dari budaya Jawa

Karya-karya sastra di Jawa hasil akulturasi Islam-tasawuf dengan konsep Jawa-Hindu-Buddha antara lain:

(a) Suluk Minang Sumirang,
menggambarkan jiwa manusia menyatu dengan Tuhan.

(b) Suluk Sukarsa,
menceritakan Ki Sukarsa mencari ilmu untuk mendapatkan kesempurnaan. Cerita ini mirip cerita Dewa Ruci dalam cerita pewayangan Jawa yang mengisahkan pencarian Bima (Pandawa nomor dua) akan hakikat dan makna kehidupan.

(c) Suluk Wijil,
berisi wejangan-wejangan Sunan Bonang kepada Wijil, seorang mantan abdi istana di Majapahit yang bertubuh cebol.

Karya-karya sastra Melayu (dan kemudian Jawa) banyak terpengaruhi oleh kebudayaan Arab dan Persia. Cerita-cerita terkenal dari Timur Tengah ikut menyemarakkan sastra yang beredar di Indonesia. Cerita seperti Kisah 1001 Malam gubahan sastrawan yang hidup pada masa Dinasti Umayyah, yakni Abu Nawas dari Irak, atau cerita Aladin yang banyak memperngaruhi sastra Melayu di bagian barat Indonesia. Sastra karya Hamzah Fansuri merupakan contoh hasil akulturasi kebudayaan Islam- Timur-Tengah dengan ajaran Buddha.

Selain karya-karya di atas, akulturasi sastra Islam dengan budaya lokal bisa dilihat dari karya-karya sastra lainnya, seperti Syair Panji Sumirang, Cerita Wayang Kinundang, Hikayat Panji Kuda Sumirang, Hikayat Cekel Weneng Pati, Hikayat Panni Wilakusuma, Syair Ken Tumbunan, Lelakon Mesda Kuminir. Karyakarya yang kaya dengan budaya Islam dan lokal ini banyak dihasilkan pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Islam, terutama yang ada di Sumatera dan Semenanjung Melayu.

Budaya dan sastra Jawa, berbeda dengan budaya Sumatera, pengaruh kebudayaan Hindu-Buddhanya sangat kental dan sarat akan unsur-unsur ”kebatinan”. Pada saat kebudayan ini berrtemu dengan tasawwuf dalam Islam, akhirnya menjadi sangat pas untuk dikembangkan. Karya-karya sastra Jawa, seperti suluk yang berisi Tentang  ramalan, masalah gaib dan arti dari simbol-simbol tertentu. Suluk merupakan bagian dari ajaran tasawuf yang isinya tantang proses menuju makrifat.

0 komentar:

Post a Comment