June 11, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan




Interaksi antara tradisi lokal, Hindu-Buddha, dengan Islam akhirnya menghasilkan sesuatu yang budaya yang khas. Melalui proses akulturasi yang evolusioner (berjalan lambat-laun), masyarakat Indonesia semakin kaya akan keberagaman budaya, dari mulai bidang seni arsitekturnya, sastra, seni rupa, seni tarian dan musik, konsep kekuasaan, dan bidang-bidang yang lainnya.


1. Dalam Seni Arsitektur dan Bangunan

Corak arsitektur bangunan bercorak Islam yang ada di Indonesia banyak dipengaruhi warna Gujarat, India. Masyarakat Gujarat ini pada awalnya beragama Hindu, namun sejak Islam masuk ke India sebagian dari mereka memeluk Islam. Gaya arsitektur bangunan di Gujarat merupakan akulturasi antara Hindu dan Islam, sehingga bentuknya berbeda dengan bangunan yang berada di Arab. Dengan demikian, masuknya Islam melalui Gujarat tidak memengaruhi bentuk bangunan Indonesia yang masih melekat dengan budaya Hindu-Buddhanya.

Seperti candi dan biara, arsitektur bangunan mesjid dibuat secara khusus agar terlihat beda dengan bangunan-bangunan lainnya. Sebagai tempat beribadah tetntunya bangunan bersangkutan harus terlihat lebih spesial dibandingkan bangunanbangunan lainnya dan tahan lama. Biasanya atap masjid dibuat berundak-undak (bertingkat), sedangkan masjidnya berdenah persegi panjang, memiliki serambi depan atau samping, dikelilingi benteng, dan gerbang masjid tersebut berbentuk gapura yang berornamen Hindu-Buddha.

Contoh masjid-masjid yang berarsitektur seperti ini dapat dijumpai pada Mesjid Marunda di Jakarta, Mesjid Agung Demak, Mesjid Agung Banten, dan Mesjid Agung Cirebon. Adapula beberapa masjid arsitekturnya sangat kental akan nuansa Cina; masjid ini biasanya didirikan oleh komunitas Tionghoa muslim yang ada di Indonesia, dan tak jarang masjid tersebut berubah fungsi menjadi kelenteng karena ditinggalkan penduduk aslinya.

Biasanya, di sekitar masjid pada zaman dahulu selalu terdapat makam orang-orang penting di zamannya. Makam yang terdapat di belakang atau di samping masjid tersebut, biasanya merupakan tempat peristirahatan terakhir para raja beserta keluarga dan kerabatnya atau para wali. Makam-makam tersebut dibuat lebih tinggi dari tanah sebagai penanda bahwa kedudukan almarhum/ almarhumah berbeda dengan rakyat biasa. Makam raja dan keturunannya dikumpulkan dalam satu wilayah seperti halnya keluarga (ayah, ibu, dan anak). Batu nisan pada makam dibuat dari batu dan ditulisi nama orang, tempat dan tanggal lahir dan meninggal orang bersangkutan dengan huruf Arab dan bertarikh hijriah.

a. Keraton

Perpaduan budaya dalam bentuk bangunan dapat dilihat dari bentuk arsitektur pada keraton sebagai tempat raja. Keraton yang berada di Jawa dan Sumatera kebanyakan merupakan perpaduan antara budaya Islam dengan Hindu dan Buddha. Keraton-keraton yang terdapat di Jawa, lazimnya dihiasi dengan ornamen-ornamen hiasan khas Islam yang dipadukan dengan ornamen Jawa yang Hindu-Buddha. Pada gerbang tempat masuk kerajaan dihiasi oleh gapura dan makara model Majapahit atau Singasari. Ruanganruangan di dalam keraton tersebut dihiasi ukiran-ukiran yang memadukan unsur Islam dengan Hindu-Buddha.

b. Masjid

Bagi umat Islam, masjid merupakan pusat kekuasaan politik yang handal, selain sebagai lambang persatuan umat. Pada masa Raden Patah menjadi raja, Masjid Demak merupakan tempat para wali dan pihak kerajaan membahas masalah-masalah politik. Sebagai pemimpin umat, seorang raja dituntut untuk membangun masjid dengan semegah mungkin. Besar dan kecilnya bangunan masjid merupakan cerminan dari kekuasaan yang dimiliki oleh seorang raja. Di Indonesia, sebelum seni arsitektur Islam dikenal betul, bangunan mesjid mengikuti seni arsitektur yang berkembang sebelumnya, seperti Mesjid Agung Cirebon, Agung Banten, Demak, Kudus, Jepara dan mesjid-mesjid lainnya. Mesjid-mesjid tersebut memiliki ciri atap yang bertumpuk-tumpuk yang banyak pengaruh dari budaya lokal dan Hindu-Buddha.

c. Makam

Sejarah senantiasa memperlihatkan kepada generasi mendatang tentang begitu banyak raja yang sangat cintai karena ketenaran dan kekayannya. Dan walaupun, raja tersebut sesungguhaya tak disukai rakyatnya, tetap saja makamnya dibangun begitu megah. Ketika raja tersebut meninggal dunia, sebuah makam atau kuburan pun dibuatkan dengan megah dan besar serta bercitra rasa arsitektural yang tinggi. Di India, misalnya, kita melihatnya pada Taj Mahal, makam permaisuri Sultan Syah Jehan dari Dinasti Mughal yang bernama Arjuman Banu Begum yang dikenal juga dengan Muntaz Mahal yang meninggal pada 1631.

Di Indonesia, sejumlah peninggalan makam raja-raja yang pernah berkuasa cukup terpelihara dengan baik. Tidak seperti jenazah raja-raja Hindu-Buddha yang diabukan dan disimpan dalam candi, jenazah raja-raja Islam biasanya dikubur dalam tanah. Setelah dikubur jenazahnya maka makam raja bersangkutan akan dipelihara dan disanjung-sanjung. Para raja dan kerabat raja Mataram-Islam memiliki komplek pemakaman khusus yang berada di Bukit Imogiri, Yogyakarta. Komplek Imogiri ini dibangun atas perintah Sultan Agung Mataram sebagai tempat kuburannya dan sanak-saudaranya kelak bila meninggal dunia.

Pembangunan komplek pemakaman di bukit tersebut memiliki motivasi yang bersifat kosmis yang berhubungan dengan kepercayaan animisme dan konsep dewa-dewi Hindu. Menurut kepercayaan tradisional, bukit atau dataran tinggi merupakan tempat yang layak bagi ”tempat peristirahatan terakhir” seorang raja atau penguasa yang berperan sebagai wakil Tuhan di dunia. Bandingkanlah komplek Imogiri ini dengan komplek Candi Dieng peninggalan Mataram Kuno yang juga berada di dataran tinggi.

Selain makam raja, makam-makam kerabat istana dan para pemuka agama yang terpandang juga senantiasa dirawat dan pada momen-momen tertentu sering diziarahi orang untuk berbagai macam kepentingan. Makam para Wali Sanga, misalnya, hingga sekarang masih sering dikunjungi, terutama pada hari-hari raya besar Islam. Selain mendoakan arwah yang diziarahinya, para pendatang juga selalu berdoa meminta kepada makam atau arwah bersangkutan agar keinginannya terpenuhi. Tak jarang keinginan para peziarah tersebut berbau mistis atau duniawi, seperti minta awet-muda, jabatan, kekayaan, perjodohan, dan hal-hal keduniawian lainnya.

0 komentar:

Post a Comment