May 31, 2012


Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan




Karya-karya bercorak Islam di Jawa Barat, Tengah, dan Timur kebanyakan merupakan sastra sejarah dan suluk. Di antaranya ditulis dengan huruf Arab dan berbahasa Jawa dan Sunda. Tidak seperti sastra-sastra Hindu-Buddha yang jumlahnya terbatas dan sebagian hilang, karya-karya bercorak Islam jumlahnya lebih banyak dan cukup terpelihara. Tema-temanya pun cenderung bersifat kesejarahan (meski sebagian isinya dapat diragukan).

Berikut ini beberapa karya sastra yang ditulis pada masa Islam di Jawa, yaitu:


(1) Sajarah Banten,
umumnya menceritakan riwayat raja-raja Banten, raja-raja Demak yang berkaiatan dengan para penguasa Jepara, kisah para sunan dan wali Islam. Sajarah Banten, di antaranya, menulis Ki Dilah dari Palembang yang pernah membangkang terhadap Majapahit dua kali; lalu Pati Unus sebagai penguasa Demak diperintah untuk menundukkan Ki Dilah dan berhasil. Menurut Sajarah Banten, Sunan Giri dan Bonang pernah belajar Islam di Samudera Pasai.

(2) Hikayat Hasanuddin,
 isinya lebih pendek dari Sajarah Banten, memuat riwayat raja-raja Banten, Demak, Sunan Gunung Jati, serta nama-nama imam di Mesjid Demak.

(3) Serat Kandha,
ditulis pada abad ke-18 yang bersumber dari karya-karya penulis pesisir utara Jawa abad ke-16 dan 17, memuat kehidupan Sultan Trenggana Demak.

(4) Babad Mataram,
merupakan ringkasan Serat Kandha, ditulis pada abad ke-18 juga, keduanya menceritakan riwayat keluarga Mataram.

(5) Babad Sangkala,
memuat daftar-daftar tarikh (tahun) yang lumayan kumplit tentang peristiwa-peristiwa sejarah pada masanya.

(6) Sajarah Dalem,
berisi silsilah keluarga raja Mataram-Islam yang disusun di Surakarta (Solo) pada abad ke-19, di dalamnya terdapat pula daftar generasi yang lebih tua dari raja-raja Mataram.

(7) Babad Pasir,
berasal dari pedalaman Banyumas, memuat seputar islamisasi di Jawa Tengah dan Timur yang kebenarannya diragukan karena bersifat legenda.

(8) Babad Tanah Djawi,
memuat asal-usul raja-raja di Jawa dari masa Hindu-Buddha hingga Islam. Diceritakan bahwa rajaraja Jawa merupakan keturunan langsung dari Nabi Adam, dewa-dewa Hindu, Arjuna dari Pandawa, Jayabaya raja Kediri, raja-raja Mataram-Islam, hingga sepak terjang para Wali (terutama Sunan Kalijaga) dalam menyiarkan Islam dan membangun Masjid Agung Demak. Dari babad ini terlihat bahwa terjadi pencampuradukan antara kitab suci, alam mitologi dewa Hindu, dunia pewayangan, dengan sejarah itu sendiri.

(9) Serat Rama,
Serat Bharatayudha, Serat Mintaraga, serta Arjuna Sastrabahu, karya sastrawan Yasadipura I, yang hidup dari tahun 1729 hingga 1803 yang hidup pada masa Paku Buwono II Surakarta. Yasadipura I dipandang sebagai sastrawan besar Jawa. Ia menulis empat buku klasik yang disadur dari bahasa Jawa Kuno (Kawi). Selain menyadur sastra-sastra Hindu-Jawa, Yasadipura I juga menyadur sastra Melayu, yakni Hikayat Amir Hamzah yang digubah menjadi Serat Menak.

Ia pun menerjemahkan Dewa Ruci dan Serat Nitisastra Kakawin. Ia menerjemahkan pula kitab Taj as-Salatin ke dalam bahasa Jawa menjadi Serat Tajusalatin serta Anbiya. Selain itu, ia pun menulis naskah bersifat kesejarahan secara cermat, yaitu Serat Cabolek dan Babad Giyanti. Selain karya-karya di atas, ada pula kitab berbentuk suluk, yakni kitab berisi syair-syair mistik yang ditulis dalam Bentuk macapat.

Sampai saai ini, suluk-suluk ini (biasa juga disebut Kitab Kuning) masih sering dibacakan oleh kaum santri. Ajaran suluk ini dipelopori oleh para wali abad ke-16 dan 17, yang memang ajaran mistiknya dapat diserap olek masyarakat Hindu-Buddha yang sama-sama menyukai mistik. Berbeda dengan suluk di daerah pesisir yang lebih menekankan nilai syariatnya, suluk di pedalaman (misalnya Mataram) lebih cenderung bersifat kejawen.

Tujuan ilmu suluk adalah pencapaian dengan kesatuan dengan Tuhan (orang Jawa bilang: manunggal ing kawula-gusti) yang dikembangkan ulama kontroversial Persia, Al Hallaj, dan pemikiran Ibnu Arabi; di Indonesia ada Siti Jenar. Suluk Wijil, contohnya, merupakan ajaran-ajaran Sunan Bonang kepada muridnya yang bertubuh kerdil bernama Wijil, mantan abdi Majapahit yang memeluk Islam.

Suluk Sukarsah, isinya mengisahkan seseorang yang mencari ilmu untuk mendapatkan kesempurnaan. Berikut adalah beberapa contoh lain: Suluk Gatoloco, Suluk Darmogandol, Suluk Walisanga.

Berikut ini sepenggal syair yang diambil dari Suluk Ratna:

Demikianlah persemayaman tauhid
Dua yang menyatu
Ibarat kertas dan putihnya
Namun setelah sadar
Bukan Aku, bukan kamu
Dan Aku bukan kamu
Ibarat kuku hitam
Yang sesungguhnya berbeda dengan kuku putih

Hamzah Fansuri menyebutkan syair-syair sebagai Islam suluk. Syair Prahu yang mengibaratkan manusia sebagai perahu yang mengarungi lautan zat Tuhan dengan manghadapi segala macam marabahaya yang hanya dapat dihadapi oleh tauhid dan makrifat serta Syair Si Burung Pingai yang mengibaratkan jiwa manusia sebagai seekor burung, sebagai Zat Tuhan.

Sebenarnya masih banyak lagi karya sastra pada periode Islam ini. Kebanyakan masih seputar peristiwa-peristiwa sejarah sejak Islam menginjakkan pengaruhnya di Indonesia, terutama Jawa. Hampir semua karya sastra di atas dianalisis oleh sejarawan asing, terutama Belanda yang begitu tertarik dengan naskah-naskah kuno tersebut. Banyak di antara karya sastra tersebut tersimpan aman di perpustakaan Universitas Leiden di Belanda.


0 komentar:

Post a Comment