May 25, 2012

Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan


Medang Kamulan (Kahuripan)

Medang Kamulan dapat dikatakan sebagai kelanjutan Mataram karena ia tak lain adalah ibukota Mataram. Nama kamulan bisa dianggap sebagai perubahan kata “kamulyaan” atau “kemulian”. Namun, sebagian ahli berpendapat, Medang Kamulan adalah ibukota Kediri atau Jenggala. Adapula yang menyebutnya Kerajaan Kahuripan.


Pada masa Medang Kamulan inilah terjadi perpindahan kekuasaan politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, setelah Mataram hancur karena letusan Gunung Merapi. Pergeseran peta kekuasaan ini pada perkembangannya sangat menentukan sejarah perpolitikan di Jawa khususnya. Medang Kamulan dibangun oleh keturunan raja Mataram. Namanya Mpu Sindhok, pendiri Dinasti Isana. Dinasti Isana ini memerintah Medang Kamulan selama satu abad sejak 929 M.

Ada dua prasasti yang mengisahkan Medang Kamulan, yakni Prasasti Mpu Sindhok, menceritakan masa pemerintahan Mpu Sindhok; dan Prasasti Kalcutta, menceritakan awal mula silsilah Dinasti Isana sampai zaman pemerintahan Airlangga. Mpu Sindhok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa. Raja ini memerintah selama 20 tahun. Ia memiliki seorang permaisuri, bernama Sri Wardhani Pu Kbin. Menurut berita prasasti, Sindhok memerintah dengan adil dan rakyatnya makmur.

Salah satunya prestasi Sindhok adalah membangun sebuah bendungan sebagai tanggul dan menanami bendungan tersebut dengan ikan. Meski beragama Hindu-Siwa, Mpu Sindhok bertoleransi terhadap agama Buddha. Salah satu kitab umat Buddha berjudul Sang Hyang Kamahayanikan diterbitkan pada masa pemerintahannya.

Mpu Sindhok digantikan Sri Isana Tunggawijaya, puteranya. Setelah Tunggawijaya, Medang Kamulan diperintah oleh Dharmawangsa Teguh, cucu Mpu Sindhok. Dharmawangsa Teguh adalah raja Medang Kamulan yang paling tersohor. Semasa pemerintahannya, Teguh berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dengan mengembangkan pertanian dan perdagangan. Namun, usahanya ini terhambat oleh Sriwijaya yang ingin menguasai perdagangan Jawa dan Sumatera.

Untuk merebut perairan Selat Malaka dari dominasi pedagangpedagang Sriwijaya, Teguh mengirimkan tentaranya pada 1003 M, namun tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya mampu memukul balik Medang Kamulan. Kekalahan Medang Kamulan atas Sriwijaya ini bermula dari pemberontakan penguasa Wurawuri. Awalnya, Wurawuri merupakan kerajaan kecil bawahan Medang Kamulan.

Namun karena dihasut orang-orang Sriwijaya, raja Wurawuri nekad mengudeta pemerintahan Medang Kamulan. Gerakan Wurawuri ini terjadi ketika di Medang Kamulan sedang dilangsungkan pesta pernikahan Airlangga dengan puteri Dharmawangsa Teguh.

Airlangga adalah putera Raja Bali Udayana dengan Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh). Peristiwa berdarah ini dinamai Pralaya Medang. Medang Kamulan hancur dan Dharmawangsa tewas. Pralaya atau perlaya berarti “runtuh” atau “mati”. Airlangga sendiri berhasil meloloskan diri bersama para pengikutnya yang setia, Narottama. Dalam pelariannya, Airlangga diterima oleh para brahmana yang bersimpati. Kemudian, Airlangga digembleng oleh para brahmana itu. Airlangga lalu dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan pada 1019 M, pusat pemerintahan pun beralih ke Kahuripan. Sebagai mantu sekaligus kemenakan Dharmawangsa, Airlangga merasa berkewajiban mengembalikan kewibawaan Medang Kamulan. Ia berhasil menaklukkan raja-raja yang dulu merupakan bawahan Medang.

Raja Bisaprabhawa ditaklukkan tahun 1029, Raja Wijayawarman dari Wengker ditundukkan tahun 1030, Raja Adhamapanuda ditaklukkan tahun 1031. Raja Wurawari, musuh bebuyutannya, ditaklukkan tahun 1035.

Setelah menundukkan raja-raja kecil itu, Airlangga memindahkan ibukota ke wilayah Kahuripan di Jawa Timur. Ia juga memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh di muara Sungai Brantas. Pada masa Airlangga, Pelabuhan Tuban (Kembang Putih) dan Hujung Galuh merupakan pelabuhan dagang yang ramai. Dua pelabuhan ini merupakan tempat transit dan bertemunya para pedagang pribumi dengan pedagang mancanegara, seperti dari India, Birma, Kamboja, dan Campa.

Setelah menjadi raja, Airlangga tidak melupakan jasa-jasa para brahmana yang telah menggembengnya dulu. Sebagai balas jasa, ia membangun candi dan asrama sebagai tempat beribadah para brahmana di daerah Pucangan. Tak lupa pula, Airlangga membangun Waduk Waringin Sapta sebagai pencegah banjir dan mengairi lahan pertanian. Ia pun membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir pantai ke pusat Kerajaan. Berkatnyalah, Medang Kamulan mencapai keemasannya. Kisah hidup Airlangga kemudian dituturkan dalam Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa.

Airlangga memutuskan mundur sebagai raja. Ia memilih menjadi seorang pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Ia meninggal pada 1049 M dan disemayamkan di Gunung Penanggungan, di sekitar Komplek Candi Belahan. Pewaris takhta Medang Kamulan seharusnya adalah puteri Airlangga yang lahir dari permaisuri, yakni Sri Sanggramawijaya. Namun, karena Sanggramawijaya juga memilih hidup menjadi pertapa, takhta beralih kepada putera Airlangga dari selir.

Untuk mencegah kemungkinan perang saudara, Mpu Bharada, seorang petinggi istana, membagi Medang Kamulan menjadi dua; Panjalu (disebut juga Kediri) dan Janggala. Panjalu diberikan kepada Samarawijaya dengan ibu kota Daha, sementara Jenggala diberikan kepada Panji Garasakan dengan ibu kota Kahuripan. Wilayah Jenggala meliputi hampir sebagian Jawa Timur, wilayah Kediri (Panjalu) mencakupi Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah. Dengan demikian, berakhirlah Medang Kamulan dan Dinasti Isana.



Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Medang Kamulan

Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan: dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.

Dalam hal kepemilikan tanah, transportasi, perpajakan, dan tenaga kerja; kehidupan rakyat Medang Kamulan menyerupai Mataram, karena Medang Kamulan tak lain adalah kelanjutan Mataram, hanya nama dinastinya saja yang berbeda. Toh, yang berbeda hanya perpindahan wilayah kekuasaan dari barat ke timur.

Masa pemerintahan Mpu Sindok lalu Sri Isana Tunggawijaya, merupakan masa yang damai. Namun, sejak pemerintahan Dharmawangsa Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar negeri. Tujuannya adalah untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan ini, Dharmawangsa Teguh membangun armada militer yang tangguh. Dengan kekuatan militer ini, Medang Kamulan menaklukkan Bali, lalu mendirikan semacam koloni di Kalimantan Barat. Dengan armada ini pula, Medang Kamulan kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak menang.

Dharmawangsa pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh di selatan Surabaya dan Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang bertemu. Ketika Airlangga berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan kerajaan-kerajaan tetangga demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan dengan mengadakan perjanjian damai dengan Sriwijaya. Kerajaan pun memperlakukan umat Hindu dan Buddha sederajat.


0 komentar:

Post a Comment