Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Medang Kamulan (Kahuripan)
Medang Kamulan dapat dikatakan sebagai kelanjutan
Mataram karena ia tak lain adalah ibukota Mataram. Nama kamulan bisa dianggap sebagai perubahan kata “kamulyaan”
atau “kemulian”. Namun, sebagian ahli berpendapat, Medang Kamulan adalah ibukota
Kediri atau Jenggala. Adapula yang menyebutnya Kerajaan Kahuripan.
Pada masa Medang Kamulan inilah terjadi perpindahan kekuasaan
politik dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, setelah Mataram hancur karena letusan
Gunung Merapi. Pergeseran peta kekuasaan ini pada perkembangannya sangat
menentukan sejarah perpolitikan di Jawa khususnya. Medang Kamulan dibangun oleh
keturunan raja Mataram. Namanya Mpu Sindhok,
pendiri Dinasti Isana. Dinasti Isana ini memerintah Medang Kamulan selama satu abad
sejak 929 M.
Ada dua prasasti yang mengisahkan Medang Kamulan,
yakni Prasasti Mpu Sindhok, menceritakan masa pemerintahan Mpu Sindhok; dan
Prasasti Kalcutta, menceritakan awal mula silsilah Dinasti Isana sampai zaman
pemerintahan Airlangga. Mpu Sindhok bergelar Sri Maharaja Raka i Hino Sri Isana Wikrama Dharmatunggadewa. Raja ini memerintah selama 20 tahun. Ia memiliki
seorang permaisuri, bernama Sri Wardhani Pu Kbin. Menurut berita prasasti, Sindhok memerintah dengan adil dan rakyatnya
makmur.
Salah satunya prestasi Sindhok adalah membangun
sebuah bendungan sebagai tanggul dan menanami bendungan tersebut dengan ikan.
Meski beragama Hindu-Siwa, Mpu Sindhok bertoleransi terhadap agama Buddha.
Salah satu kitab umat Buddha berjudul Sang Hyang Kamahayanikan diterbitkan pada masa pemerintahannya.
Mpu Sindhok digantikan Sri Isana Tunggawijaya,
puteranya. Setelah Tunggawijaya, Medang Kamulan diperintah oleh Dharmawangsa
Teguh, cucu Mpu Sindhok. Dharmawangsa Teguh adalah raja Medang Kamulan yang
paling tersohor. Semasa pemerintahannya, Teguh berusaha meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya dengan mengembangkan pertanian dan perdagangan. Namun,
usahanya ini terhambat oleh Sriwijaya yang ingin menguasai perdagangan Jawa dan
Sumatera.
Untuk merebut perairan Selat Malaka dari dominasi
pedagangpedagang Sriwijaya, Teguh mengirimkan tentaranya pada 1003 M, namun
tidak berhasil. Bahkan Sriwijaya mampu memukul balik Medang Kamulan. Kekalahan
Medang Kamulan atas Sriwijaya ini bermula dari pemberontakan penguasa Wurawuri.
Awalnya, Wurawuri merupakan kerajaan kecil bawahan Medang Kamulan.
Namun karena dihasut orang-orang Sriwijaya, raja
Wurawuri nekad mengudeta pemerintahan Medang Kamulan. Gerakan Wurawuri ini
terjadi ketika di Medang Kamulan sedang dilangsungkan pesta pernikahan
Airlangga dengan puteri Dharmawangsa Teguh.
Airlangga adalah putera Raja Bali Udayana dengan
Mahendradatta (saudari Dharmawangsa Teguh). Peristiwa berdarah ini dinamai Pralaya Medang. Medang Kamulan hancur dan Dharmawangsa tewas. Pralaya atau perlaya berarti
“runtuh” atau “mati”. Airlangga sendiri berhasil meloloskan diri bersama para pengikutnya
yang setia, Narottama. Dalam pelariannya, Airlangga diterima oleh para brahmana
yang bersimpati. Kemudian, Airlangga digembleng oleh para brahmana itu.
Airlangga lalu dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan pada 1019 M, pusat pemerintahan
pun beralih ke Kahuripan. Sebagai mantu sekaligus kemenakan Dharmawangsa,
Airlangga merasa berkewajiban mengembalikan kewibawaan Medang Kamulan. Ia
berhasil menaklukkan raja-raja yang dulu merupakan bawahan Medang.
Raja Bisaprabhawa ditaklukkan tahun 1029, Raja
Wijayawarman dari Wengker ditundukkan tahun 1030, Raja Adhamapanuda ditaklukkan
tahun 1031. Raja Wurawari, musuh bebuyutannya, ditaklukkan tahun 1035.
Setelah menundukkan raja-raja kecil itu, Airlangga memindahkan
ibukota ke wilayah Kahuripan di Jawa Timur. Ia juga memperbaiki Pelabuhan
Hujung Galuh di muara Sungai Brantas. Pada masa Airlangga, Pelabuhan Tuban
(Kembang Putih) dan Hujung Galuh merupakan pelabuhan dagang yang ramai. Dua
pelabuhan ini merupakan tempat transit dan bertemunya para pedagang pribumi
dengan pedagang mancanegara, seperti dari India, Birma, Kamboja, dan Campa.
Setelah menjadi raja, Airlangga tidak melupakan
jasa-jasa para brahmana yang telah menggembengnya dulu. Sebagai balas jasa, ia
membangun candi dan asrama sebagai tempat beribadah para brahmana di daerah
Pucangan. Tak lupa pula, Airlangga membangun Waduk Waringin Sapta sebagai
pencegah banjir dan mengairi lahan pertanian. Ia pun membangun jalan-jalan yang
menghubungkan daerah pesisir pantai ke pusat Kerajaan. Berkatnyalah, Medang
Kamulan mencapai keemasannya. Kisah hidup Airlangga kemudian dituturkan dalam
Kitab Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa.
Airlangga memutuskan mundur sebagai raja. Ia memilih
menjadi seorang pertapa dengan sebutan Resi Gentayu. Ia meninggal pada 1049 M
dan disemayamkan di Gunung Penanggungan, di sekitar Komplek Candi Belahan.
Pewaris takhta Medang Kamulan seharusnya adalah puteri Airlangga yang lahir
dari permaisuri, yakni Sri Sanggramawijaya. Namun, karena Sanggramawijaya juga
memilih hidup menjadi pertapa, takhta beralih kepada putera Airlangga dari
selir.
Untuk mencegah kemungkinan perang saudara, Mpu
Bharada, seorang petinggi istana, membagi Medang Kamulan menjadi dua; Panjalu
(disebut juga Kediri) dan Janggala. Panjalu diberikan kepada Samarawijaya
dengan ibu kota Daha, sementara Jenggala diberikan kepada Panji Garasakan
dengan ibu kota Kahuripan. Wilayah Jenggala meliputi hampir sebagian Jawa
Timur, wilayah Kediri (Panjalu) mencakupi Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.
Dengan demikian, berakhirlah Medang Kamulan dan Dinasti Isana.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Medang
Kamulan
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan:
dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Dalam hal kepemilikan tanah, transportasi,
perpajakan, dan tenaga kerja; kehidupan rakyat Medang Kamulan menyerupai
Mataram, karena Medang Kamulan tak lain adalah kelanjutan Mataram, hanya nama
dinastinya saja yang berbeda. Toh, yang berbeda hanya perpindahan wilayah
kekuasaan dari barat ke timur.
Masa pemerintahan Mpu Sindok lalu Sri Isana
Tunggawijaya, merupakan masa yang damai. Namun, sejak pemerintahan Dharmawangsa
Teguh, politik Kerajaan cenderung mengarah ke luar negeri. Tujuannya adalah
untuk merebut dominasi perdagangan di perairan Jawa, Sumatera, dan Kalimantan,
yang ketika itu dikuasai Sriwijaya. Untuk keperluan ini, Dharmawangsa Teguh
membangun armada militer yang tangguh. Dengan kekuatan militer ini, Medang
Kamulan menaklukkan Bali, lalu mendirikan semacam koloni di Kalimantan Barat. Dengan
armada ini pula, Medang Kamulan kemudian menyerang Sriwijaya, walaupun tidak
menang.
Dharmawangsa pun mengembangkan pelabuhan Hujung Galuh
di selatan Surabaya dan Kembang Putih (Tuban) sebagai tempat para pedagang
bertemu. Ketika Airlangga berkuasa, kerajaan menjaga hubungan damai dengan
kerajaan-kerajaan tetangga demi kesejahteraan rakyat. Ini diperlihatkan dengan mengadakan
perjanjian damai dengan Sriwijaya. Kerajaan pun memperlakukan umat Hindu dan
Buddha sederajat.
0 komentar:
Post a Comment