Versi materi oleh Triyono Suwito dan Wawan Darmawan
Sunda dan Pajajaran
Berita tentang Kerajaan Sunda terdapat pada Prasasti
Sanghyang Tapak yang berhuruf Kawi bertahun 952 Saka (1050 M), yang ditemukan
di Citatih, Cibadak, Sukabumi (diperkirakan sezaman dengan Airlangga di Jawa
Timur). Disebutkan bahwa yang memerintah Sunda ketika itu adalah Maharaja Jayabhupati yang bergelar Sri Jayabhupati Jayamanahen Wishnumurti Samarawijaya
Sakalabhuwana Mandala Weswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa.
Jayabhupati disebutkan berkuasa di Praharyan Sunda
dan beragama Waisnawa (Hindu-Wisnu). Dan pada masa berikutnya, ibukota
dipindahkan dari Pakuan ke Kawali, Ciamis. Sementara itu, Kerajaan Pajajaran
banyak dibahas dalam babad atau kidung. Seperti Kidung Sunda, Sundayana, Pararaton, Carita Parahiyangan, Babad Galuh, dan Babad Pajajaran. Kitab ini sebagian memang disusun pada waktu Pajajaran masih
ada. Namun, yang lainnya banyak ditulis pada masa kemudian, ketika Pajajaran tinggal
hanya nama. Nama Pajajaran pun tertulis pada Prasasti Batutulis dan Prasasti
Kebantenan.
Prasasti Batutulis ditulis dengan bentuk candrasangkala dan memakai bahasa Sunda Kuno, berbunyi:
1. ...ini sakakala
Prabu Ratu Purana pun, di Wastu
2. diva dingaran
Prabu Guru Dewataprana di Wastu dija dingaran
3. Sri Baduga,
maharaja ratuhaji di Pakwan Pajajaran
4. dewata pun ya nu
nyusuk na Pakwan, dija anak rahiyang
5. niskala sasida
mokta di guna tiga, incu Rahiyang Niskala Wastu
6. Kancana sakakala
mokta ka nusa larang ya siya nu nyiyan
7. sakakala
gugunungan ngabalay ngiyan samida nyiyan sang hiyang talaga
8. rena maha wijaya
ya siya pun, i saka panca pandawa ngemban bumi.
Prasasti ini dianggap sebagai awal berdirinya
Pajajaran. Ada pula yang beranggapan prasasti ini dibuat pada masa Prabu Surawisesa yang berisi penghormatan terhadap jasa-jasa ayahnya,
Prabu Ratu Purana yang telah wafat. Mengenai tahun berdirinya, ada
yang menyebutkan 1225 Saka (1335 M), ada yang berpendapat 1445 Saka (1533 M).
Belum ada ahli yang tahu pasti kapan berdirinya Pajajaran dan siapa raja-raja
yang memerintah. Setiap babad menyebutkan nama-nama raja yang berlainan, meski
ada pula nama-nama yang sama. Kisah dalam kitab-kitab tersebut banyak yang
bercampur dengan cerita-cerita legenda.
Raja−raja yang diketahui memerintah Pajajaran adalah Maharaja Jayabhupati, Rahyang Niskala Wastu Kencana, Rahyang Dewa Niskala, Sri Baduga Maharaja, Hyang Wuni Sora, Prabu Surawisesa (catatan Portugis menulisnya Samian, mungkin ucapan tak sempurna dari Sanghyang), dan Prabu Ratu Dewata. Dari prasasti Sanghyang Tapak diketahui bahwa raja Maharaja
Jayabhupati menyebut dirinya Haji ri Sunda. Sebutan ini bertujuan untuk meyakinkan kedudukannya sebagai
raja Pajajaran. Disebutkan bahwa Jayabhupati memeluk Hindu Waisnawa. Pada masa
Jayabhupati, pusat Kerajaan terletak di Pakwan (Pakuan atau Pakuwan) di Bogor
yang kemudian dipindahkan ke Kawali.
Pengganti Jayabhupati adalah Rahyang Niskala Wastu.
Pusat kerajaan Pajajaran ketika masa pemerintahan raja ini sudah di Kawali.
Istananya bernama Surawisesa. Kemudian Rahyang Dewa Niskala menggantikan
Niskala Wastu. Namun tidak diketahui perkembangan Pajajaran dalam masa
pemerintahan raja ini. Raja Rahyang Dewa Niskala kemudian digantikan oleh Sri
Baduga Maharaja. Pada masa pemerintahan raja ini, terjadi Perang Bubat antara
pasukan Gajah Mada Majapahit dengan Pajajaran. Dalam pertempuran ini, semua
pasukan Pajajaran termasuk raja Sri Baduga tewas terbunuh. Sepeninggalan Sri
Baduga, Pajajaran diperintahkan oleh Hyang Wuni Sora, kemudian berturut-turut
oleh Prabu Niskala Wastu Kencana, Tohaan, dan Ratu Jaya Dewata.
Raja Pajajaran yang lainnya adalah Prabu Surawisesa.
Dalam peninggalan sejarah disebutkan bahwa Ratu Samian pernah berkunjung ke
Malaka untuk meminta bantuan Portugis dalam rangka menghadapi Demak yang ingin
menguasai Sunda Kepala. Namun, Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama Pajajaran
(konon lebih ramai dari pelabuhan Banten dan Cirebon) akhirnya jatuh ke tangan
pasukan Demak pimpinan Fatahillah (Faletehan atau Fadillah Khan, menantu Sunan Gunung Jati). Ratu Samian digantikan
Prabu Ratu Dewata. Pada masa pemerintahan Ratu Dewata, Pajajaran banyak
mendapat serangan dari Kerajaan Banten yang dipimpin Maulana Hasanuddin. Akhirnya, Pajajaran runtuh dan wilayahnya dikuasai
Banten.
Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Kerajaan
Sunda dan Pajajaran
Kehidupan politik kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha
membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia.
Struktur sosial dari masa Kutai hingga Majapahit mengalami perkembangan yang
ber-evolusi namun progresif. Dunia perekonomian pun mengalami perkembangan:
dari yang semula sistem barter hingga sistem nilai tukar uang.
Kehidupan sosial masyarakat Sunda dan Pakwan
Pajajaran secara garis besar dapat digolongkan ke dalam golongan seniman,
peladang (pecocok tanam), pedagang. Dari bukti−bukti sejarah diketahui, umumnya masyarakat
Pajajaran hidup dari hasil perladangan. Seperti masyarakat Tarumanagara dan
Galuh, mereka umumnya selalu berpindah−pindah.
Hal ini berpengaruh pada bentuk rumah tempat tinggal
mereka yang sederhana. Dalam hal tenaga kerja, yang menjadi anggota militer diambil
dari rakyat jelata dan sebagian anak bangsawan. Mereka dibiayai oleh negara.
Dalam bidang ekonomi, Kerajaan Sunda dan Pajajaran telah lebih maju dari masa
Tarumanagara. Kerajaan Sunda-Pajajaran memiliki setidaknya enam pelabuhan
penting: Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa, dan Cimanuk. Setiap
pelabuhan ini dikepalai oleh seorang syahbandar yang bertanggung jawab kepada
raja.
Para syahbandar ini bertindak sebagai wakil raja di pelabuhan−pelabuhan yang dikuasainya,
sekaligus menarik pajak dari para pedagang yang ingin berjualan di daerah ini— pajak
tersebut berupa kiriman upeti berwujud barang dagangan yang mahal atau uang.
Dalam hal transportasi air, selain melalui laut, dilakukan pula melalui
sungai-sungai besar seperi Citarum dan Cimanuk, sebagai jalur perairan dalam
negeri.
Melalui pelabuhan ini, Pajajaran melakukan aktifitas
perdagangan dengan negara lain. Dalam berbagai peninggalan sejarah diketahui,
masyarakat Pajajaran telah berlayar hingga ke Malaka bahkan ke Kepulauan
Maladewa yang kecil di sebelah selatan India. Barang−barang dagangan mereka umumnya
bahan makanan dan lada. Di samping itu, ada jenis bahan pakaian yang didatangkan
dari Kambay (India). Sementara mata uang yang dipakai sebagai alat tukar adalah
mata uang Cina.
0 komentar:
Post a Comment