October 6, 2013

Versi materi oleh Marwan S


Metode sejarah lisan atau oral history merupakan metode yang digunakan dalam mengumpulkan sumber sejarah. Penggunaan metode ini sudah lama digunakan, Herodatus sejarawan Yunani yang pertama, telah mengembara ke tempat-tempat yang jauh untuk mengumpulkan bahan-bahan sejarah lisan. Thucydides sekitar 2400 tahun yang lalu telah menggunakan kisah kesaksian langsung para prajurit yang ikut dalam perang Peloponesa untuk membangun sejarah lisan.

Metode modern sejarah lisan berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1930- an dengan dilakukan penelitian besar-besaran mengenai kenangan bekas para budak hitam. Perkembangan ini membawa suatu pemikiran baru tentang sumber sejarah lisan. Sumber yang dicari bukan hanya para tokoh atau “orang-orang besar”, tetapi juga kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, termasuk pula golongan buta huruf dan golongan yang tidak pernah meninggalkan bahanbahan tertulis.

Perkembangan lain yang menyebabkan lahirnya sejarah lisan bahwa dalam dunia modern banyak hal yang penting lolos dari pencatatan tertulis, misalnya keputusan-keputusan atau instruksi-instruksi penting yang diberikan melalui telepon saja sehingga tidak dapat ditemukan dalam suatu dokumen. Teknik komunikasi yang semakin maju pada waktu sekarang memungkinkan orang saling bertemu muka, sehingga surat menyurat semakin berkurang. Dengan demikian, semakin banyak data yang diperlukan tidak lagi dapat diketemukan dalam bentuk tertulis. Selain itu pula, perkembangan teknologi, dengan ditemukannya alat perekam (phonograph) pada tahun 1877 dan perkembangan alat perekam pada tahun 1960 dengan ditemukannya tape recorder, semakin memudahkan untuk menyimpan data atau sumber lisan.

Di Amerika serikat oral history adalah rekaman pita (tape recording) dari wawancara tentang peristiwa atau hal-hal yang dialami oleh si pengisah sendiri, atau lebih tepat lagi, rekaman pita (atau kaset) dari penglaman-pengalaman yang masih diingat oleh pengisah. Keterangan ini direkam dalam bentuk Tanya jawab melalui wawancara lisan yang telah direncanakan lebih dahulu dengan cermat.

Ada beberapa hal atau prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan penelitian sejarah lisan, yaitu:

1. Perencanaan wawancara
Menurut Lincoln dan Guba dalam Lexi J. Moleong (1996) wawancara adalah mengkonstruksi, mengenai orang, kejadian, kegiatan organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian dan lain-lain kebulatan, merekonstruksi kebulatankebulatan demikian sebagai yang dialami masa lalu, memproyeksikan kebulatankebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang; memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota. Agar kegiatan wawancara dapat mencapai sasaran yang diinginkan, harus dilakukan kegiatan perencanaan dengan baik meliputi perencanaan waktu wawancara, penentuan orang yang akan di wawanara atau informan, dan menentukan materi wawancara.



2. Pelaksanaan wawancara
Wawancara dalam sejarah lisan bukanlah suatu dialog melainkan menggali pengalaman dari orang yang sedang diwawancarai. Komentar dari pewancara hanya terbatas pada pertanyaan-pertanyaan singkat untuk mengarahkan kisahnya. Wawancara tidak dimaksudkan untuk memperlihatkan kepintaran pewancara. Yang penting ialah keterangan atau pengalaman yang dikisahkan, jadi semakin kurang suara pewancara didengar dalam rekaman, semakin baik mutu dari wawancara sejarah lisan.

3. Orang yang diwawancarai
Agar wawancara itu berjalan dengan lancar sebaiknya sebelum wawancara itu dilaksanakan sebaiknya kita mempelajari latar belakang dari orang tersebut. Selain itu seorang pewancara harus menguasai materi yang akan ditanyakan. Untuk mennguasai materi yang akan ditanyakan, sebaiknya pewancara terlebih dahulu membaca literatur-literatur yang berkaitan dengan materi pembicaraan. Kedua sebelum kita melakukan wawancara langsung sebaiknya orang yang akan kita wawancarai dihubungi terlebih dahulu dan mengadakan perjanjian kapan wawancara itu dilakukan. Kedua menetapkan pertanyaan-pertanyaan yang akan kita tanyakan. Sebaiknya kita membuat daftar pertanyaan dan pertanyaan yang kita ajukan bukan pertanyaan yang jawabannya menghendaki jawaban berupa “ya” atau “tidak”. Langkah ketiga adalah menyiapkan alat perekam atau tape recorder. Kita harus terampil menggunakan alat perekam, jangan sampai pada saat wawancara dilakukan tape recorder tidak berfungsi.

Kita harus menyiapkan berapa kaset yang kita butuhkan. Jumlah kaset yang kita butuhkan tergantung pada lamanya waktu yang kita lakukan pada saat wawancara. Informan atau orang pemberi informasi sebaiknya haruslah orang yang mengetahui atau mengalami langsung peristiwa atau kejadian yang akan kita teliti atau orang pertama. Pencarian informasi dari orang pertama ini diharapkan dapat memperoleh sumber yang lebih akurat. Orang yang kita wawancarai bisa individu maupun kelompok, sedangkan kelompok social informan tergantung pada tema penelitian. Kita dapat mewancarai tokoh, pejabat atau rakyat biasa. Misalnya, kalau kita ingin membuat biografi seorang tokoh, maka kita akan mewancarai tokoh tersebut yang kita wawancarai. Kalau kita menulis suatu peristiwa, misalnya suatu gejolak atau konflik pada suatu daerah, maka kita dapat mewancari satu kelompok masyarakat yang terlibat langsung
terhadap peristiwa tersebut, bahkan orang-orang biasa atau khalayak yang terlibat dapat kita wawancarai.

4. Materi wawancara
Materi yang akan kita tanyakan kepada informan tergantung pada masalah yang akan kita bahas dari tema penelitian. Agar materi atau informasi yang kita butuhkan sesuai dengan tema penelitian kita, maka kita harus mencari informan adalah orang yang memang berhubungan langsung dengan tema penelitian. Misalnya, kita akan menulis sejarah dengan tema perlawanan rakyat Indonesia pada masa pendudukan Jepang, maka kita harus merumuskan dahulu apa yang dimaksud perlawanan dalam penelitian itu. Faktor-faktor apakah yang memengaruhi terjadinya perlawanan, dan lain-lain.

0 komentar:

Post a Comment